MENYIKAPI RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK PENGELOLAAN, HAK ATAS TANAH, SATUAN RUMAH SUSUN DAN PENDAFTARAN TANAH

Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan masih antri untuk mendapat giliran pembahasan dan mendapat pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini  tertunda karena tidak dapat menyelesaikan permasalahan krusial, meski sudah diwacanakan kembali tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah.

Dasarnya yaitu  UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yaitu pasal 136 sampai dengan pasal 147 , dalam pasal itu diperintahkan untuk menerbitkan peraturan pemerintah tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun. dan pendaftaran tanah.

Untuk mengkaji RPP Hak Pengelolaan Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Terutama dan terlebih dahulu harus mengkaji Regulasi yang mendasari atau memerintahkannya yaitu pasal 136-147 Undang-undang Hak Cipta No. 11 tahun 2020. Kritik terhadap undang-undang cipta kerja klaster pertanahan  tersebut meliputi beberapa hal.

Hak Pengelolaan

Dalam pasal 4 (1)RPP huruf a Hak pengelolaan pada umumnya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah namun dalam RPP ini subjek hak pengelolaan diberikan kepada BUMN/BUMD, Badan Hukum Milik Negara/daerah, Badan bank tanah, Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk menggunakan tanah untuk keperluan usahanya dan menyerahkan bagian- bagian tanah  itu kepada pihak ketiga.

Usaha dalam bidang agraria oleh pihak ketiga yang merupakan pihak swasta menyebabkan terjadinya suatu kondisi monopoli usaha dalam bidang agraria. Kondisi monopoli swasta atas usaha dalam bidang agraria terlihat di Pelabuhan Umum Kabil Batam, dimana PT Sarana Citranusa Kabil yang menerima penyerahan bagian-bagian tanah hak pengelolaan dari Otorita Batam telah melakukan monopoli usaha dalam bidang agraria dengan cara melakukan penguasaan atas usaha kepelabuhanan didalam bumi dan air Kota Batam, Negara Indonesia, bahwa monopoli swasta dalam bidang agraria berpotensi untuk disalahgunakan antara

Kewenangan tersebut membuat dikuasainya suatu usaha dalam bidang agraria oleh salah satu pelaku usaha tertentu yang dalam hal ini adalah pemegang hak pengelolaan dan atau pihak ketiga. Penguasaan atas suatu lain : a. PT Sarana Citranusa Kabil mengadakan Perjanjian dengan pelaku usaha tertentu untuk menutup kemungkinan Pelaku usaha lain melakukan kegiatan yang sama;b. PT Sarana Citranusa Kabil menetapkan harga pelayanan jasa yang dibayar oleh konsumen menjadi sangat tinggi; c. PT Sarana Citranusa Kabil menetapkan tarif secara berbeda kepada pelaku usaha tertentu; Penyalahgunaan Monopoli Swasta dalam bidang Agraria dapat menimbulkan tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat . (  Satrio Nurwicaksono; 2008 )

Bank Tanah

Dalam pasal 4 (e ) RPP.  , yaitu adanya Bank tanah yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah pusat untuk melakukan kegiatan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah . Sampai saat ini belum ada yang ditunjuk untuk melaksanakan itu.

Mengenai bank tanah ini, ada persoalan yaitu diaturan dasarnya itu sendiri undang-undang cipta kerja dikritik tidak “ menyederhanakan masalah regulasi, karena tidak merujuk kepada UU No.5 tahun 1960 ( UUPA ) untuk dirubah atau dihapus. Konsep bank tanah disinyalir adalah scenario besar untuk memudahkan para pengusaha memperoleh tanah. dibentuklah Badan Bank Tanah yang akan menyediakan tanah dan membantu memberikan Kemudahan Perizinan Berusaha/Persetujuan. Kedudukan Hak Pengelolaan (HPL) sebagai “fungsi” dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk menjalankan usahanya dengan memperoleh Hak Atas Tanah di atas HPL.

Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL dijadikan primadona karena mayoritas jenis pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak setelah diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Ketentuan ini berpeluang untuk diajukan pengujian di Mahkamah Konstitusi.

Secara khusus WNA dan Badan Hukum Asing diperkenankan memiliki apartemen/sarusun yang tanah-bersamanya berstatus HGB. Sayangnya skenario ini disusun dengan melanggar/bertentangan dengan Putusan MK, TAP MPR IX/2001, UUPA, dan Nawacita khususnya program kelima. Di sisi lain, penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai salah satu tujuan Bank Tanah tak ada dampaknya terhadap redistribusi tanah pertanian.

Reformasi Agraria

Ideologi Bank Tanah tak sesuai dengan tujuan Reformasi Agraria. Di samping rancu, ketentuan ini berpotensi melemahkan pelaksanaan Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Ketiga,penyusunan   pelaksanaan UU No.12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja berpotensi semakin menambah ketidakpastian hukum karena substansi pertanahan dalam UU bertentangan dengan UU asalnya (UUPA) beserta aturan pelaksananya yang masih berlaku sepenuhnya.

Kesimpulan

Pertama,Substansi pertanahan yang ada didalam bab VIII bag. Keempat (pasal 136-147) tentang UU Cipta Kerja karenatidak merujuk kepa UU No. 5 tahun 1960 tentang pokok agraria.

Kedua, Penyusunan pengaturan pertanahan dilandasi scenario besar untuk membuka peluang investasi melalui perolehan tanah yang relative murah bagi pengusaha juga bertentangan dengan cita-cita Reformasi Agraria.

Ketiga, penyusunan  Rancangan pelaksanaan UU berpotensi semakin menambah ketidak pastian hukum karena bertentangan UUPA dan Konstitusi kita, untuk sebaiknya  ditunda dulu.

Keempat. memperkenalkan peraturan baru yang bermasalah dalam UU. Untuk mendorong investasi yang wajib pelayanan pertanahan yang lebih profesional, bersih dan bertanggungjawab.

(*Penulis Dewan Pakar IPPAT Wilayah Jawa Barat dan Akademisi : Dr. Agus Surachman, S.H, Sp.1)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *