KOTA BOGOR – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Bank Tanah akan diluncurkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagaimana amanat Undang-Undang Cipta Kerja No 11/2020.
Hingga saat ini, Kementerian ATR/BPN baru merampungkan empat Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.
Kemudian PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, PP Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar serta PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Akademisi Dr Agus Surachman menanggapi, berdasarkan UU Cipta Kerja badan tersebut berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Meski tujuan bank tanah untuk memudahkan berbagai macam pembangunan, badan tersebut perlu dikawal.
“Karena kita khawatir pendirian bank tanah ini jadi jalan pintas sebagian pengusaha swasta atau oligarki untuk bisa mendapatkan tanah secara murah, bahkan gratis,” tukasnya kepada media ini, Minggu (18/4/2021).
Keberadaan Bank Tanah, apabila ada proyek yang dianggap strategis oleh pemerintah yang dikerjakan swasta, pemanfaatan lahan tersebut difasilitasi negara. Tanah tersebut bisa dialihkan pengelolaannya ke swasta. Hal ini yang menurutnya, menjadi catatan adalah dalam pembebasan tanah tersebut pasti membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun, pengalihan ke swasta dikenakan biaya serendah mungkin.
“Artinya pemerintah yang menanggung biaya itu untuk kepentingan korporasi. Walaupun tanah itu milik negara, tapi dalam pengeloanya bisa dialihkan ke swasta,” jelasnya.
Bahwa pada pasal 127 UU Cipta Kerja berbunyi Bank Tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit. Kata terakhir nonprofit, sebut Agus, itu bisa menjadi masalah.
“Itu bisa diasumsikan perlu bank tanah tidak perlu untung dan hanya swasta saja yang mendapatkannya. Karena memang diamanatkan bank tanah tidak mencari profit,” ucap pria yang juga dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil mengatakan bahwa Bank Tanah berbeda dengan lembaganya. Di berbagai negara, badan pertanahan seperti BPN punya dua tangan, yaitu regulator dan pengelolanya.
Di Indonesia, yang ada hanya pelaksana regulasi, sedangkan dari sisi pengaturan tanahnya tidak ada. Ini berbeda dengan Kementerian Kehutan an dan Lingkungan Hidup dimana institusi tersebut memiliki keduaanya.
“Di negara lain, Bank Tanah telah diterapkan dengan konsep yang hampir sama, yakni Korea, Jepang, Thailand, Taiwan, Amerika Serikat, Vietnam, Peru, Tunisia, Abu Dabi, Mumbai, Kolombia, dan Brasil.12 Di Korea, tepatnya Korea Selatan 84% penyesuaian kembali lahan (land readjustment) di masyarakat perkotaan. Di Jepang, setidaknya 1/3 dari keseluruhan lahan di perkotaan dikembangkan dengan land readjustment dengan faktor potensialnya yakni komunitas dan asosiasi masyarakat yang sangat beragam. Sementara di Taiwan, dalam satu dekade pertama seluas 2.100 Ha lahan di perkotaan ditata dengan land readjustment,” tuturnya.
Nah, di Indonesia, lanjutnya, belum ada kelembagaan yang berfungsi untuk menjaga ketersediaan lahan, sehingga investor dan makelar-makelar semakin merajalela Saat ini. Pemerintah terus melakukan pembahasan pembentukan Bank Tanah dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) tersebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
“Pembentukan Bank Tanah meliputi luas tanah yang dapat dibeli, mekanisme pengambilan tanah (seluruh atau bagian), cara perolehan asal tanah (dari mekanisme jual-beli atau tanah terlantar), mekanisme pendanaan (usulan mekanisme masuk kas keluar kas) dan apakah tanah yang telah dibeli akan dijual kembali atau hanya disewakan,” paparnya.
Untuk itu, masih kata Agus, perlu dibuat Peraturan Pemerintah tentang Bank Tanah, yang harus berfungsi merncanakan, memperoleh tanah, mengadakan tanah, mengelola tanah, memanfaatkan tanah dan mendistrubsikan tanah. Bahwa, perencanaan dilakukan untuk jangka panjang, menengah dan tahunan. Misalnya untuk 35 tahun, 5 tahun , atau 1 tahun, serta dibentuk suatu badan publik yang melakukan pengelolaan dan playanan terhadap pihak – pihak yang memerlukan tanah dengan menggunakan tarif yang wajar untuk memperoleh keuntungan yang wajar tidak boleh gratis atau non profit.
“Karena, akan dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk memperoleh tanah secara gratis tanpa ada keuntungan bagi Negara, misalnya ditentukan Penghasilan Negara bukan pajak (PNBP ). Badan publik yang akan mengelola tanah itu bisa saja berada di bawah kementrian ATR/ BPN atau Depertemen lain seperti Departemen Keuangan,” tuntasnya. (Nesto)