Bincang Santai Bersama Akademisi Agus Surachman, Taliban, Apa dan Mengapa?

Akademisi yang juga dosen pasca sarjana salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor, Dr Agus Surachman, SH, SP1 menyampaikan, Taliban tak akan pernah bisa hadir di Indonesia.

Bahkan, tak akan pernah jadi isme dan berdampak ke Indonesia. Karena, Talibanisme dan ideologi radikalis lainnya serupa, merupakan ideologi tertutup, ekslusif, dan intoleran.

“Selain itu, di Indonesia ada Pancasila. Jadi, tak akan pernah bisa hadir di Indonesia. Sebab, Pancasila yang juga merupakan negara yang demokratis, adalah racun mematikan bagi Talibanisme,” kata Agus Surachman saat bincang-bincang di salah satu cafe, lingkungan Bogor Nirwana Residence (BNR), Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, baru-baru ini.

Indonesia yang memiliki Pancasila, sebutnya, sudah beberapa kali teruji dalam catatan sejarah.

“Mulai dari rongrongan komunisme hingga DI TII, semua gagal saat ingin mengambil kekuasaan dan merubah ideologi bangsa. Begitu juga dengan upaya yang dilakukan ekstrim kanan,” imbuhnya.

Ia juga menceritakan ketika kelompok milisi Taliban merebut dengan mudah Kota Kabul di hampir seluruh wilayah Afghanistan. Masyarakat dunia pun terkejut. Setelah 20 tahun tersingkir dari kekuasaan dan dipojokkan pasukan Amerika Serikat dan NATO di pegunungan dan pedesaan, kini Taliban  melenggang masuk ibu kota dan mengambil alih istana kepresidenan.

Tak hanya itu, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kabur ke luar negeri. Lalu, kenapa pasukan Afghanistan yang dilatih, dipersenjatai dan digaji Amerika menyerah hampir tanpa perlawanan di kaki Taliban? Menurutnya, hal itu sudah direncanakan saat AS masih dipimpin oleh Presiden Donald Trump.

“Sejak Amerika melakukan invasi ke Afghanistan pada 2001, Trump adalah presiden pertama yang memutuskan dihentikannya aksi militer AS di sana. Sudah waktunya pulang ke rumah. Mereka ingin berhenti setelah bertempur sangat lama. Begitu mengutip kata Trump di media. Perjanjian pun dilakukan antara AS dengan Taliban,” tukasnya.

Selanjutnya, 29 Februari 2020 menjadi hari bersejarah. Hari itu, ucapnya, di Kota Doha di Qatar, Amerika dan Taliban melakukan perundingan damai. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga hadir di sana, menunjukkan pentingnya acara tersebut.

“Disitu jelas (melalui prundingan dengan Taliban), AS punya standar ganda soal Taliban. Pemerintah AS memberi label teroris untuk kelompok Taliban di Pakistan, atau Tehrik-I Taliban. Sementara, kelompok Taliban di Afghanistan hanya dianggap pemberontak, bukan teroris, yang menguasai banyak wilayah di sana dan bercita-cita memerintah negara itu. Padahal, dua kelompok itu sama-sama menyebut dirinya Taliban,” lanjut Agus lagi.

Namun, pertimbangan politik membuat kelompok Taliban Afghanistan dikesampingkan dari daftar kelompok teroris yang dibuat AS.

“Jika Taliban Afghanistan dianggap teroris, maka AS dan pemerintah Afghanistan tentunya tak akan melakukan kontak diplomatik atau memulai perundingan damai dengan mereka.Perlakuan berbeda ini mengizinkan rezim Trump untuk berunding dengan Taliban Afghanistan di Doha,” ujarnya.

Terkait isi perjanjian, dalam perundingan di Doha, Taliban diwakili pemimpin politiknya Mullah Abdul Ghani Baradar. Sebelumnya, dia dibebaskan dari penjara di Pakistan atas permintaan AS.

“Dalam perjanjian itu, menyebutkan AS akan sepenuhnya menarik pasukan dari Afghanistan pada 1 Mei 2021, asalkan Taliban juga menepati janji mereka. Tenggat ini kemudian diperpanjang oleh Biden hingga 31 Agustus. Di pihak lain, Taliban setuju untuk tidak menyerang personel militer AS, dan tidak melakukan aktivitas terorisme yang mengancam AS di Afghanistan maupun di negara lain,” kata Agus.

“Sementara, Taliban tidak akan mengizinkan para anggotanya, orang-orang atau kelompok-kelompok lain termasuk al-Qaeda, untuk menggunakan bumi Afghanistan sebagai tempat untuk mengancam keamanan AS dan sekutunya. Begitu bunyi pasal lain dalam perjanjian tersebut. Presiden Ghani dan pasukannya diduga tidak tahu sebelumnya bahwa mereka akan ditinggalkan oleh AS. Pemerintah Afghanistan dan Taliban sebetulnya sudah beberapa kali berunding tanpa hasil. Dan, ternyata Taliban memang lebih segan kepada Amerika dan memandang remeh pemerintahan Ghani,” tukasnya.

Taliban, sambungnya, saat ini juga mengklaim memiliki “hubungan baik” dengan Rusia dan China. Pernyataan itu diungkapkan juru bicara Taliban Muhammad Naeem. Agus berujar, mengutip dari wawancara dengan saluran televisi yang berbasis di Beirut, Al-Mayadeen, Muhammad Naeem mengklaim Taliban juga memiliki hubungan positif dengan tiga negara tetangga lainnya, yakni Pakistan, Iran dan Uzbekistan.

“China adalah tetangga kami, dan kami memiliki hubungan baik dengannya. Hal yang sama berlaku untuk Rusia. Naeem, yang saat itu bertindak sebagai juru bicara politik Taliban mengklaim, tidak seperti negara-negara Barat, kekuatan regional ini tidak peduli dengan naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan Afghanistan. Begitu disampaikannya,” ucap Agus.

ilustrasi
ilustrasi

Sejarah Taliban

Dikutip dari Aljazeera, perebutan kembali pemerintahan Afghanistan oleh Taliban terjadi setelah 20 tahun mereka dilengserkan dari kekuasaan dalam invasi pimpinan AS. Kelompok bersenjata telah dilengserkan dalam invasi pimpinan AS setelah kejadian serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Meski sudah dilengserkan, pejuang Taliban masih melakukan banyak serangan terhadap pasukan asing dan Afghanistan dalam 20 tahun terakhir. Sebelum pembentukan kelompok bersenjata pada awal 1990-an, banyak pemimpin Taliban bertempur bersama kelompok Mujahidin Afghanistan melawan pendudukan Soviet pada 1980-an.

Pada awal tahun 1990-an, kelompok bersenjata Taliban muncul sebagai pemain penting, banyak anggotanya pernah belajar di sekolah agama konservatif di Afghanistan dan di seberang perbatasan di Pakistan. Mereka mendapatkan keuntungan militer dengan cepat dan berhasil mengendalikan Kandahar, kota terbesar setelah Kabul.

Mereka pun berjanji kalau kota-kota itu tetap aman. Karena muak dengan sikap para komandan Mujahidin dan pasukan mereka yang dituduh melakukan pelanggaran hak dan kejahatan perang untuk mendapatkan kekuasaan, keberadaan Taliban jadi mendapat sambutan. Taliban merebut ibu kota pada tahun 1996 dan melengseran presiden komunis terakhir di negara, Najibullah Ahmadzai.

Aljazeera menuliskan, ini menyatakan Afghanistan sebagai emirat Islam dan mulai memaksakan interpretasi ultra-ketat hukum Islam. Tetapi itu hanya diakui tiga negara, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Pakistan. Kehadiran Taliban mendapat sambutan ketika mereka pertama kali muncul.

Popularitas awal ini disebabkan keberhasilan mereka dalam memberantas korupsi, membatasi pelanggaran hukum dan membuat jalan-jalan serta daerah-daerah di bawah kendali mereka aman untuk perdagangan berkembang. Kendati demikian, Taliban tidak pernah melonggarkan pembatasan yang awalnya diberlakukan, mereka berdalih kalau itu untuk memastikan kalau kejahatan perang saudara tidak terulang lagi.

Dahulu, Taliban melarang televisi, musik dan bioskop, dan tidak menyetujui anak perempuan berusia 10 tahun ke atas pergi ke sekolah. Atas tindakan itu, mereka dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya. Pada tahun 1999, PBB memberikan sanksi terhadap Taliban atas hubungannya dengan al-Alqaeda, yang dipersalahkan atas serangan 9/11 di AS.

Dari sana, Amerika Serikat mulai menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001 setelah Taliban menolak menyerahkan pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, yang bersembunyi di Afghanistan. Bin Laden dianggap sebagai dalang di balik serangan paling mematikan di AS.

Menjelang invasi AS, kelompok itu meminta pemerintahan Presiden AS George W Bush untuk membuktikan kalau bin Laden berperan dalam serangan 9/11. Mereka juga bernegosiasi dengan Washington, tetapi Bush menolak seluruh permintaan itu. Dalam beberapa bulan setelah AS dan sekutunya berkampanye atas pengeboman, Taliban digulingkan.

Pemerintah sementara pun dibentuk pada Desember 2001 dan dipimpin oleh Hamid Karzai. Setelah dua puluh tahun dilengserkan pada 2001, Taliban kembali menguasai Afghanistan dan memasuki istana presiden pada Minggu, 15 Agustus 2021 lalu. Kejadian itu juga membuat Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ke luar negeri. (Nesto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *