Kasus Novac Djokovik yang gagal mengikuti kejuaran di Australia Open gagal karena belum divaksin. Upaya Novac Djokovic untuk mencegah devortasi dan diizinkan main di Austarlia Open meskipun tidak divaksinasi covid-19 pupus sudah.
Putusan pengadilan sudah memtuskan untuk memulangkannya. Selain itu juga kasus “ Partygate” Pedana Menteri Inggris, Borris Johnson yang didesak mundur oleh anggota partai konseravatif , disinyalir beberapa dari mereka sudah mengajukan mosi tidak percaya atas kenerja Menteri Boris Johnson.
Dan, hal ini telah mengakibatkan empat orang staf kepercayaannya mengundurkan diri yakni, Rosenfield, Martin Reynolds, Munira Mirza dan Jack Doyle. Rosenfilied kepala staf Johnson, Martin Reynolds kepala sekretaris yang mengirimkan 100 undangan melalui email, Munira Mirza kepala kebijakan downing street, Jack Doyle kepala komunikasi.
“ Partygate” ini dilaksanakan ketika Inggris sedang melakukan lockdown karena Covid -19. Pengunduran diri mereka telah diterima dan sekarang Johnson telah menghandlenya dan melakukan perubahan ( Tempo,co, 4 Februari 2022 ). Teror Covid-19 bisa menimpa siapa saja, juga aterhadap orang-orang terkenal seperti Navac Djokovic dan berkuasa seperti, Boris Johnson. Kediktatoran yang mengatasnamakan kesehatan semakin merajalela bahkan telah menggiring dunia ke arah kebangkrutan dan seperti yang dialami setelah perang dunia kesatu dan kedua.
Kedua kasus tersebut di atas adalah merupakan cermin dari perlawanan terhadap kediktatoran Covid-19, dengan diam –diam Novac Djokovic tidak mau divaksin dan Boris Johnson tetap melakukan Party dengan stafnya walau negaranya sedang melaksanakan Lockdown. Gelombang protes terkait upaya pencegahan Covid-19 memang juga pernah terjadi di London, ribuan pengunjuk rasa dari seluruh Inggris berkumpul di Trafalgar Square London .
Mereka memprotes pembtasan sosial dan menghilangkan kewajiban penggunaan masker (JawaPos.Com, 5 September 2020 ). Di Libanon,pada hari Jum’at tanggal 14 januari 2022, ratusan orang berkumpul dilapangan Martir di Beirut untuk menyuarakan penolakan mereka atas keputusan pemerintah yang mengharuskan pekerja sektor public untuk divaksinasi atau sering melakukan tes PCR dengan biaya sndiri untuk pergi bekerja. Mereka menyebut kebijakan tersebut adalah “kediktaoran vaksin “ ( RMOL.ID, 14 Januari 2022 ).
Jaga ribuan warga memprotes vaksinasi covid-19 di Brussel, Belgia terjadi pada tanggal 23 Januari 2022. Polisi bahkan bahkan menembakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan demonstran,warga tersebut tidak hanya datang dari Belgia, tapi juga prancis, jerman dansejumlah Negara,mereka meneriakan “ kebebasan “.
Lebih dari 100 ribu orang menggelar demonstrasi besar-besaran di beberapa kota besar di Benua Eropa. Mereka menentang rencana pemerintah yang ingin membatasi hak-hak orang belum divaksin. Mereka yang turun ke jalan merupakan para anggota kelompok anti vaksin dan mulai melakukan demonstrasi sejak Sabtu (8/1/2022) waktu setempat. Melansir Al Jazeera, salah satu lokasi tujuan pengunjuk rasa saat itu adalah Paris, Prancis.
Anehnya,untuk menepis berita penolakan terhadap kediktatoran itu selalu dikanter dengan klarifikasi yang “ aneh” yang selalu mengatakan bahwa setelah dilakukan penelusuran bahwa berita tersebut “Hoax” . hemat saya justru yang membuat klarifikasi iitu adalah yang “ HOAX’. Sepertinya covid-19 ini memang ada yang mendesign . Sehingga ketika ada suara yang tidak setuju dan kritis terhadap keberadaan covid-19 dan dengan segala kewajiban dan aturan yang dilaksanakan dengan cara dictator maka akan “dihilangkan”.
Di Indonesia bagaimana, tidak banyak protes anti covid-19 yang turun kejalan, mungkin cukup dalam hati atau dalam obrolan sehari-hari di warung kopi. Tetapi ada kecenderungan merebaknya covid -19 dimanfaatkan oleh penguasa untuk terjadinya“dictator konstitutioanal “.Menurut Jimly, selama masa pandemi ini, proses pembuatan UU hanya dilakukan untuk mengikuti syarat formal di mana hal terpenting adalah DPR sudah menyetujui. Padahal, tambahnya, proses pembentukan UU juga merupakan bagian dari bernegara. Hal ini tercermin dari 5 UU yang dibentuk pemerintahan Presiden Joko Widodo seperti UU Mahkamah Konsitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Semua UU itu dibuat tanpa melibatkan publik sama sekali. Ini menunjukkan menurunnya kinerja negara hukum dimana instrumennya adalah penegakan negara hukum dan pembangunan hukum,” tegasnya. Yang agak mengenaskan, ungkap Jimly, masyarakat pun saat ( https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/355661/jimlykhawatirkan-munculnya-gejala-diktator-konstitusional).
Lalu, siapa yang harus disalahkan dan kita harus protes kepada siapa. Masih bingung, mungkinkah kepada World Healht Organization and Beyond, karena mereka yang telah menetapkan Covid -19 sebagai wadah pandemic. Mari kita berpikir realistis dan kritis. (Dosen Pasca Sarajana PTS di Bogor, Dr Agus Surcahman, SH, SP1)