Jaga dan Lestarikan Wayang untuk Generasi Esok

Belakangan ini warisan budaya leluhur wayang jadi trending topic karena disoal seseorang, yang diduga tak memiliki literasi sejarah. Padahal, selama ini wayang, menjadi media dakwah dan syiar Islam. Wayang sebagai salah satu seni budaya tentu harus dijaga dan dilestarikan, terlebih wayang sangat erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di banyak daerah.

Awal mula Islam disebarkan di Pulau Jawa, para ulama menggunakan pendekatan budaya melalui pagelaran wayang. Dari sejumlah sumber, para ulama yang popular dikenal dengan Walisongo itu yakni Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria hingga Sunan Kalijaga.

Wayang dipilih jadi media dakwah dan syiar karena sangat digemari masyarakat Jawa. Di antara wayang hasil karya para wali ini adalah wayang purwa dan wayang kancil. Melalui Sunan Kalijaga, Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau menjadi wayang kulit yang bercorak Islami. Penyelenggaran tempat yang dipilih Sunan Kalijaga tidak jauh dari masjid.

Sejarah mencatat, wayang produk asli budaya Indonesia, mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat. Salah satu yang menggunakan media dakwah melalui wayang, serta gamelan di Tanah Jawa yakni Sunan Kalijaga atau yang bernama asli Raden Said dilahirkan pada tahun 1450 Masehi. Ia adalah salah satu wali songo yang menyebarkan siar Islam di wilayah Jawa Tengah.

Diketahui, Sunan Kalijaga atau bernama kecil Raden Mas Syahid lahir pada 1450 Masehi di Tuban, Jawa Timur. Ia merupakan putra seorang Bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta. Sunan Kalijaga adalah murid dari Sunan Bonang. Dalam menyebarkan agama Islam, sejarah mencatat, cara pendekatan yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan memakai sarana kesenian dan kebudayaan.

Sunan Kalijaga pun mengganti sejumlah tokoh Mahabharata dengan tokoh-tokoh Islam seperti Ali, Umar, Amir Hamzah dan lain-lain. Penggunaan pertunjukan wayang ditunjukan sebagai alat tradisonal untuk mengantarkan ajaran agama dan moral baik kepada masyarakat.

Dikutip dari berbagai sumber, Sunan Kalijaga saat berdakwah dengan menggunakan wayang kulit. Ia pun berperan penting dalam membentuk karakter Islam di Jawa, bahkan Nusantara yang lentur, toleran, dan penuh kearifan.

Hingga saat ini, peninggalan Sunan Kalijaga masih ada. Diantaranya seperti tembang Lir-Ilir yang masih diajarkan di masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Ada gubahan puitis, rancangan dan lakon wayang kulit hingga formasi alat-alat gamelan.

Pada bagian lain, media dakwah yang digunakan Sunan Giri yakni Wayang Kancil. Ia memakai tokoh peraga berupa binatang kancil sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam dilingkungan Jawa. Ceritanya menjadi lebih beragam, bahkan dipentaskan dalam berbagai bahasa.

Dari sejumlah sumber literasi, wayang kulit merupakan produk budaya yang  telah ada sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa. Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami perubahan.  Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa juga tersampaikan pada istilah-istilah bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Pengaruh Islam dalam wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan berkaitan pula dengan aspek lainnya yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa.

Sehingga, kelestariannya patut untuk dijaga, karena merupakan salah satu bagian dari seni budaya bangsa yang menjadi saksi sejarah perkembangan bangsa, khususnya perkembangan agama Islam di Indonesia.

Dikutip dari Kemdikbud, wayang merupakan seni edipeniadiluhung, artinya seni yang selain indah juga mengandung nilai-nilai keutamaan hidup. Inilah yang membuat UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003, dan kemudian masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dengan judul The Wayang puppet theater tertanggal 4 November 2008.

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018, tertanggal 17 Desember 2018, Pemerintah telah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional (HWN). Wayang adalah wewayanganing ngaurip, artinya wayang adalah refleksi kehidupan. Nilai-nilai intangible wayang seperti memayu-hayu bawana (membuat tatanan dunia yang damai), jiwa ksatria, budi luhur, kesempurnaan hidup, harmoni adalah falsafah Timur yang bisa dikaji untuk memperkaya falsafah Barat.

Saat ini, tidak kurang dari 100 jenis wayang tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Wayang kulit Purwa berkembang pesat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Diantaranya, wayang golek Sunda berkembang di Jawa Barat, wayang kulit Parwa di Bali. Selain itu wayang juga berkembang di Nusa Tenggara Barat dengan sebutan wayang Sasak, lalu ada Wayang Banjar di Kalimantan Selatan, Wayang Palembang di Sumatera Selatan.

Tercatat 60 jenis wayang di Indonesia antara lain, Wayang Garing, Wayang Beber Kyai Remeng, Wayang Beber Pacitan, Wayang Kulit Betawi, Wayang Suket, Wayang Thengul, Wayang Wong Mataraman, Wayang Wong Sriwedari, Dramatari Wayang Wong, Wayang Sampir, Wayang Catur, Wayang Pantun, Wayang golek Cepak Indramayu, Wayang Golek Lenong betawi.

Kemudian, Wayang Topeng Tengger, Wayang Gung, Wayang Menak Sasak, Wayang Ajen, Wayang Ceplak, Wayang Kulit Majalengka, Wayang Landung, Wayang Parwa, Wayang Sapuh Leger, Wayang Wong Parwa, Wayang Kulit Sekar Kedaton, Wayang Mbah Gandrung, Wayang Rai Wong, Wayang Wong Topeng, Wayang Kancil, Wayang Orang Ngesti Pandowo, Wayang Potehi, Wayang Obrol, Wayang Krucil, Wayang Timplong, Wayang Topeng Malang, Wayang Golek Lebak, Wayang Golek Blora, Wayang Apem, Wayang Gandrung, Wayang Kulit Banjar, dan Wayang Sukadana.

 

(Penulis : Pengamat sosial /pengurus DPC PDI Perjuangan Bogor, Haryanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *