NURANI KAMPUS

KAMPUS, sedari zaman pergerakan kemerdekaan, merupakan institusi atau pranata yang memadukan sinar intelektual, integritas dan kepekaan nurani. Kampus selalu menyuarakan keberpihakan. Bahkan, dalam pepatah kerap timbul sindiran halus, “kampus jangan menara gading” karena kampus sejak lahirnya memang didesain untuk mengabdi pada peradaban. Bukan harta dan kekuasaan.

 

Para tokoh pergerakan, seperti Soekarno, Yamin, Hatta dan lainnya, adalah tokoh yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas. Tidak alergi pada kritik. Namun sekaligus, darah mereka mendidih bila terjadi ketidakadilan. Selalu memperjuangkan derita publik. Maka, penjajahan pun diberangus karena bagi cendikia pergerakan kita, melembagakan humanitas atau rasa kemanusiaan di atas urusan urusan lainnya.

 

Kampus dan Problem Kekinian

 

Filsuf Jurgen Habermas, memperkenalkan konsep demokrasi deliberatif, yang mengusung bagaimana komunikasi kritis dibangun dengan dialogis, tanpa tekanan, kesetaraan untuk memperluas ruang publik agar kanal-kanal partisipasi bisa optimal.

 

Konsep Haberms di atas merupakan cermin bagaimana cara kerja dan intuisi akademisi yang merepresentasikan kampus untuk membangun solidaritas. Paradigma Habermas harus menjadi modus keseharian kampus ketika merawat daya kritisnya menghadapi berbagai problem kekiniaan.

 

Seperti isu isu yang berkembang di publik, entah itu soal perpanjangan masa jabatan presiden, soal defisit partisipasi dalam pembentukan hukum dan hal hal strategis lainnya, kampus wajib berpartisipasi dengan berbasiskan komunikasi kesetaraan kritis. Kampus wajib menjadi pendamping publik untuk ikut menentukan biduk bernegara secara konstitusional.

 

Problemnya selalu ada di dua ranah. Pertama, internal. Kampus sendiri ternyata tidak imun dari patologi kekuasaan. Seperti struktur jabatan di kampus, entah itu rektor, dekan dan sebagainya, seringkali dipersamakan dengan modus birokrasi yang kerap menuntut protokol berlebihan. Padahal kampus adalah egalitarian. Pimpinan kampus lebih kepada koordinator untuk manajerial agar gagasan gagasan cerdas dari kampus terkelola dengan baik. Kerap terdapat juga gagal paham seakan akan komunikasi di lingkungan kampus harus dibangun dengan hirarki ketat. Puja puji overdosis yang tidak pada tempatnya. Hal ini kerap menjadi persoalan sendiri. Apalagi tantangan digitalisasi dan pandemi, kerap melumpuhkan unsur kedekatan emosional karena diberi penjara jarak fisik sebagai bagian dari dilema mengatasi pandemi. Ekologi ini mesti dicari jalan keluarnya.

 

Belum lagi, di kampus kerap terjadi kesenjangan antara yayasan yang menaungi suatu kampus dengan ide ide besar dari organ yang berada di level kepengurusan rektorat hingga dekanat suatu kampus. Ini terutama terjadi di kampus kampus swasta. Manajemen yayasan harus selalu membuka diri untuk memfasilitasi berbagai arus besar gerakan kampus yang mencerahkan. Tidak terjebak dalam vested interest. Apalagi jika memelihara politik dinasti tentu akan lebih rentan lagi. Konflik kepentingan kerap menjadi cikal bakal kegaduhan.

 

Kedua, eksternal. Kerap sumber daya kritis kampus diserap pada jabatan kekuasaan yang bisa jadi mengubah watak dan mental akademisi dimaksud. Tradisi kritik sebagai mahkota kampus seharusnya dapat dikapitalisasi di dalam jabatan kekuasaan agar menjadi enerji pembaharuan. Hal ini yang kerap terdistorsi. Belum lagi bayang bayang feodalisme masih menjadi tantangan dinamika eksternal sendiri.

 

Satu hal yang harus dihindari kampus adalah terjebak elitisme. Kelompok yang asik dengan kepentingan kepentingan terbatas yang kerap tidak terkorelasi dengan kepentingan publik yang besar.  Termasuk sikap arogan merupakan hal yang perlu dinindari. Demikian pula tradisi tradisi yang tidak sehat harus dihindari. Menciptakan harmoni yang sinergis menjadi kekuatan sendiri dalam memajukan kampus.

 

Masa Depan Kampus

 

Kampus memiliki mantera Tri Dharma yang terdiri dari pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Konsep ini harus bekerja linear dan saling terkait. Misalnya, ketika kampus melakukan pengabdian masyarakat berupa penyuluhan, maka dalam proses penyuluhan tidak hanya kampus memberikan apa yang dimiliki pada publik namun mendapat masukan kegelisahan publik. Kegelisahan publik bisa diteliti lebih dalam sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari dharma penelitian. Ketika mengerkah menjadi ilmu pengetahuan maka dapat ditransformasi menjadi bahan ajar perkuliahan untuk memenuhi dharma pengajaran. Jadi siklus ini kait mengkait.

 

Masa depan kampus dalam perspektif saya akan terbentuk jika tri dharma perguruan tinggi diimplementasikan dengan penguatan sikap rendah hati, mau mendengar kegelisahan publik dan senantiasa menjaga integritas. Jika itu terjadi maka kampus dapat berkontribusi besar dalam peradaban suatu bangsa. Tantangan ini tidak mudah karena perlu kearifan dalam memastikan pemenuhannya.

 

(*Penulis Pengajar FH Universitas Pakuan dan Peminat Filsafat, Raden Muhammad Mihradi, S.H., M.H)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *