Wacana penundaan pemilu 2024 terus menggelinding. Para praktisi hukum juga menyampaikan pendapatnya. Salah satunya, Jhon Piter Simanjutak, SH, MH. Pria yang juga akademisi atau dosen salah satu perguruan tingi swasta di Kota Bogor blak-blakan menyampaikan penolannya. Dia menilai usulan penundaan pemilu 2024 itu merupakan bentuk pelanggaran konstitusi.
Sebagaimana diketahui, usulan Pemilu 2024 diundur ini awal mulanya disuarakan ketua umum partai politik pendukung pemerintah. Mulanya, usulan ini disuarakan secara terbuka oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Selanjutnya, bak gayung bersambut, ucapan Muhaimin itu direspon oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto. Alasan mereka rakyat masih ingin dipimpin Jokowi dan ekonomi belum stabil.
“Sebagai praktisi hokum, saya merujuk pada ketentuan hukum yang sudah berlaku. Adapun eforia (wacana penundaan pemilu.red), saya sebagai orang hokum, tidak sependapat,” kata Jhon Pieter Simanjutak saat diwawancarai di kantor pengacaranya, Jalan Ahmad Yani, Tanahsareal, Kota Bogor, Rabu (23/3/2022).
Pria yang memfavoritkan Adnan Buyung Nasution ini melanjutkan, alasannya karena kepastian hukum itu menjadi nilai-nilai demokrasi.
“ Kepastian hukum itu merupakan nilai-nilai buat masyarakat maupun pemerintah. Karena, UUD, baik itu juga UU Pemilu mengamanatkan pemilu itu digelar 5 tahun sekali. Artinya, apa? Semua harus tunduk pada ketentuan itu. Tidak ada pintu atau mertekayas, untuk penundaan pemilu pada tahun 2024,” ucap advokast kawakan Bogor dengan ciri khas rambut putihnya.
Dia pun menyoroti, kesepakatan yang dibuat terkait tanggal pencoblosan antara pemerintah, KPU dan DPR itu. Kata Jhon, wacana tunda pemilu tersebut kontraproduktif dengan berbagai persiapan Pemilu yang selama ini sudah dilakukan.
“Selain kontraproduktif dengan berbagai persiapan Pemilu yang sudah dilakukan juga dapat memberikan citra buruk kinerja demokrasi Indonesia di mata internasional. Selain juga bisa memperburuk polarisasi disintegratif di tengah masyarakat yang sudah mengalami kemerosotan civic culture akibat pilpres 2019,” tuturnya.
“Alasan-alasan yang dibangun soal penundaan pemilu adalah alasan pembenaran., Bukan kebenaran. Kebenaran itu adalah soal kepastian hukum. Kebenaran itu sudah dilaksanakan dan disetujui oleh masyarakat, juga pelaksana konstitusi itu sendiri. Artinya, semua partai politik, masyarakat, harus tunduk pada aturan yang telah ditetapkan,” lanjutnya.
Menanggapi wacana penundaan yang digulirkan elit parpol, ia menilai sarat muatan politik.
“Unsur politiknya tinggi, sehingga membuat kegaduhan, dengan menyimpangkan konstitusi. Penundaan itu, merupakan upaya menutup pintu demokrasi. Secara tegas, saya sebagai orang hukum, menolak,” tuntasnya. (Nesto)