Budaya politik kontemporer kekinian dicirikan oleh beberepa hal yang sangat menonjol, diantaranya kapitalisme dunia politik, low trust society, dan pragmatisme dunia politik. Tak diketahui jelas kapan bermulanya. Meski pembuktiannya sulit, namun tak beda seperti seseorang yang buang angin, wujudnya tak terlihat tapi baunya sangat dekat terasa dihidung.
Begitulah dinamika politik saat ini. Terkait soal pragmatism, ketertarikan anak muda saat ini terhadap politik semakin meningkat. Tapi, hal itu acap diikuti praktik politik pragmatis. Mereka pun tidak sungkan lagi menyisipkan kepentingan pribadinya dalam politik mereka.
Kurangnya pendidikan politik dan penanaman ideologi dari para seniornya adalah menjadi salah satu faktor utamanya. Sistem politik yang bebas dan terbuka, dengan berbasiskan pada kekuatan uang dan massa, juga memberikan ruang bagi terjadinya praktik-praktik politik pragmatis di kalangan anak muda.
Salah satu yang menjadi ‘penyakit kambuhan’ yang sering terjadi juga mudahnya ‘berpindah hati‘ dari satu partai politik ke partai lainnya, yang ideologi dan orientasi politiknya tentu berbeda tak jarang mereka bekerja sama dengan pihak yang secara ideologi pun berseberangan. Dikarenakan sikap politik para politisi muda yang memberikan contoh sikap politik yang pragmatis, maka masyarakat pun meniru hal tersebut.
Pragmatis politik, nyaris ‘terlembagakan’ dan berpotensi ‘terbudayakan’. Tak beda dengan ‘virus’, penularannya sangat massif. Masyarakat pun ikut terjangkiti, menjadi pragmartis. Jual beli dukungan, ‘praktik dagang suara’ seringkali terjadi dan jadi fenomena yang terus berulang dalam hajat besar politik, seperti pemilihan umum. Bak seseorang yang ingin meminang kekasih, ‘sang pacar’ yang akan dipinang kerap kali tak segan menyampaikan bahasa hatinya, ‘ada uang om senang, tak ada uang cari om berbeda’.
Buntut dari budaya pragmatism ini, dunia politik lebih banyak dihuni oleh para ‘saudagar politik’, mereka yang punya banyak uang untuk cari dukungan. Soal isi kepala, soal rasa peduli tangisan rakyat, soal niat ingin mensejahterakan, seringkali jadi urusan belakang. Bahkan, boleh dibilang nyaris tak ada. Kalau pun ada, itu hanya di pidato atau kampanye pepesan kosong yang disampaikan oleh ‘saudagar politik’. Alhasil, ketika lolos kontestasi menjadi anggota dewan, pekerjaannya pun sangat ringan, hanya duduk, diam, dapat duit. Mirip seperti lagu sentilan Iwan Fals yang berjudul ‘Wakil Rakyat’. Hal itu juga terjadi di eksekutif.
‘Politik Saudagar’ yang dilatarbelakangi politik pragmatisme ini tidak berhenti pada satu helatan politik. Namun, juga berimplikasi lebih jauh dalam proses pelayanan dan prioritas pembangunan. Politik saudagar ini juga bisa terjadi pada lingkungan birokrasi pemerintah. Posisi jabatan struktural yang strategis yang sering disebut dengan “posisi basah” menjadi ‘barang dagangan’ yang jadi sampingan pejabat publik. Hal itu terjadi, jika para calon atau mereka yang sudah menjadi pejabat public tak memiliki ideology yang matang serta tak peka dengan derita rakyat.
Pragmatisme, jelas merupakan ‘warisan’ rezim terdahulu di era Orde Baru. Dulu, dunia politik menjadi ‘tempat hunian’ para cukong, para saudagar hingga para ‘crazy rich’, untuk menambah pendapatannya. Dan, kini meski boleh dibilang tak hilang, namun ‘warisan’ praktik pragmatisme itu masih hadir. Meski, tak semua, atau masih ada politisi jujur yang terjun ke dunia politik tanpa bermodalkan uang.
Bagaimanapun juga, selaras dengan semangat Reformasi, yang dibutuhkan masyarakat bukan para saudagar, cukong hingga crazy rich yang berduit. Tapi, yang diinginkan mayarakat yakni politisi yang memiliki isi di kepalanya, memiliki kepedulian kepada derita rakyat dan punya niat baik serta tulus sejahterakan rakyat. Bukan politisi yang doyan selfie atau senang pencitraan semata.
(Penulis Pengamat Sosial : Diajeng Liva)