Agus Surachman Nilai Drainase Tak Diurus Jadi Penyumbang Banjir Kota Bogor

Aartreya.com – Sebanyak 32 bencana melanda Kota Bogor di enam kecamatan tersebar akibat guyuran hujan deras, Rabu (12/10/2022) lalu. Berdasarkan hasil rekapitulasi data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor telah terjadi longsor di 20 titik, 6 banjir lintasan, empat pohon tumbang serta satu kejadian atap terbawa angin puting beliung dan bangunan ambruk.

Menanggapi merebaknya bencana yang terkesan ‘terus berulang tahun’, Akademisi Bogor Agus Surachman menyampaikan, perlunya dilakukan perbaikan tata kelola tata ruang di kota hujan. Menurutnya, area tepi sungai dan lokasi rawan longsor perlu dibebaskan dari pemukiman warga.

“Di pinggir kali ini perlu disterilkan dari pemukiman warga. Harusnya jalan. Karena, kecenderungan orang membuang sampah di sungai karena pilihan tempat pembungan sampah tidak ada. Terutama di pemukiman padat penduduk yang tak jarang ditemui tempat pembuangan sampah,” kata Agus Surachman di kantornya, Jalan Raya Tajur, Jumat (14/10/2022).

Pria yang juga dosen pasca sarajana di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bogor ini menambahkan, idealnya di setiap bibir sungai dijadikan jalan.

“Sehingga, akan memudahkan melakukan mobilitas antispasi bencana, seperti longsor atau banjir,” lanjutnya.

Ia juga mengingatkan tata kelola kota terkait dengan aturan permukiman di kawasan bantaran sungai agar sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.

Pada pasal 15 di aturan tersebut berbunyi, jika terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.

“Untuk garis sempadan sungai tak bertanggung di dalam kawasan perkotaan ditetapkan paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan tiga meter. Semakin dalam sungai, maka jaraknya semakin jauh. Sedangkan untuk sungai bertanggul dalam perkotaan ditentukkan paling sedikit berjarak tiga meter,” tuturnya.

Masih menurut Agus, drainase buruk juga menjadi salah satu penyebab banjir. Karena itu, pengelolaan lingkungan dan tata air harus terintegrasi dari hilir ke hulu, mengingat jumlah akumulasi curah hujan di wilayah hulu relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah hilir. Maka, tata kelola air harus mampu menyimpan (menahan air) lebih lama di wilayah hulu.

“Hal lain gorong-gorong atau draianse. Di beberapa perumahan sering terjadi gorong-gorong macet. Dampaknya, air meluap tumpah ke jalan. Jika jalannya lebih tinggi airnya berpotensi masuk ke rumah warga. Harusnya, dilakukan pemeliharaan berkala agar gorong-gorong terbebas dari penyumbatan yang berdampak banjir,” tukasnya.

Pendapatnya, jika dari tahun ke tahun setiap musim hujan, Kota Bogor kerap langganan bencana banjir dan longsor, diduga ada salah urus dalam pembangunan. Agus menilai upaya penanganan banjir di Kota Bogor perlu dilakukan dengan perbaikan sistem drainase, perbaikan interkoneksi sistem drainase dengan sistem pengendali banjir yang terintegrasi dengan sungai-sungai utama dan sistem polder serta revitalisasi sistem penanganan drainase.

“ Juga, perlu dilakukan pengerukan endapan di sungai-sungai dan drainase,” imbuhnya.

“Sebenarnya, institusi atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menangani sudah ada. Hanya, kemauan terkesan tidak ada. Jadi, pemda jangan hanya bisa membangun, tapi pemeliharaan tidak bisa. Pembangunan harus berorientasi pada pelestarian lingkungan hidup,” tuntasnya. (Eko Octa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *