Sepak Bola dan Suporter

FANATISME sepak bola, berbeda dengan cabang olahraga lain. Penggemar klub sepak bola, berbeda dengan cabor lain, misalnya tenis meja, catur, renang atau lainnya, karena ikatan emosional terasa lebih mengikat. Terasa masuk akal, stadion akan sepi, bahkan penjualan tiket dan merchandise bakal melorot tanpa hadirnya penggemas sepak bola atau supporter.

Penggemar atau supporter fanatik tidak memiliki hubungan timbal balik serta soliditasnya lebih mengemuka. Hubungan antar anggota suporter juga bebas karena mereka berasal dari kultur yang bermacam-macam dan menganggap stadion sebagai rumah bersamanya.

Suporter fanatic biasanya dijelaskan simbol-simbol klub yang muncul sebagai refleksi dari budaya dan organisasi suporter yang terbentu seperti desain jersey yang kerap dikenakan pemain sepakbola. Bagi mereka, mendukung sebuah klub adalah pengalaman hidup yang juga menciptakan afeksi pada masing-masing individu.

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) menjadi catatan kelam dunia sepak bola Indonesia. Laporan resmi pada Minggu (2/10/2022) pukul 11.00 WIB, 127 orang yang tewas, 180 orang lainnya juga luka-luka dalam kejadian tersebut. Hal ini  menjadikan insiden ini yang terburuk di Indonesia.

Disinyalir, pemicunya karena tembakan gas air mata juga ditujukan ke arah suporter. Penuturan suporter-suporter yang berada di lapangan dan selamat, polisi melepaskan gas air mata guna meredam massa yang sempat masuk ke lapangan usai wasit meniup peluit panjang laga Arema vs Persebaya Surabaya.

Insiden di Stadion Kanjuruhan bermula dari kemarahan suporter tuan rumah yang tidak terima Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya. Suporter masuk ke lapangan, namun dihalau petugas kepolisian. Tragedi ini menempatkan sepak bola Indonesia di posisi kedua dunia.

Sebelumnya insiden dunia sepakbola ini juga terjadi di beberapa negara. Mengutip dari Priceonomics.com, 24 Mei 1964, Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru, sebanyak 328 orang tewas. Pada 9 Mei 2001, Accra Sports Stadium Disaster, Accra, Ghana, 126 orang tewas. Pada 15 April 1989, Hillsborough Disaster, Sheffield, Inggris, 96 orang tewas.

Selanjutnya, pada 12 Maret 1988, Kathmandu Hailstorm Disaster, Kathmandu, Nepal, 93 orang tewas. Kemudian, 16 Oktober 1996, Mateo Flores National Disaster, Guatemala City, Guatemala, 80 orang tewas. Pada 1 Februari 2012, Port Said Staduim Riot, Port Said, Mesir, 70 orang tewas. Pada 23 Juni 1968, Puerta 12, Estadion Monumental, Buenos Aires, Argentina, 71 orang tewas.

Seterusnya, pada 2 Januari 1971, Second Ibrox Stadium DIsasterm Glasgow, Skotlandia, 66 orang tewas. Dan, 20 Oktober 1982, Luzhniki DIsaster, Leni Stadium, Moskow, Uni Soviet, 66 orang tewas.

Kembali pada supporter. Tanpa bermaksud memojokan, fanatik terhadap tim kesayangan adalah suatu hal yang lumrah di dunia sepakbola. Namun, idealnya wajib memiliki kontrol atas perasaan itu sehingga apa yang dilakukan sebagai pendukung klub sepakbola, tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Karena, sepakbola tidak diciptakan untuk tindakan keji seperti itu.

Indonesia, boleh dibilang sebagai salah satu negara yang menggilai sepakbola. Sebab, hampir di setiap kota, ada sebuah kesebelasan sepakbola yang amat dibanggakan warganya. Penyebutan fanatisme, memiliki arti keyakinan yang terlalu kuat terhadap klub kesayangan.

Sebagai informasi, dikutip dari berbegasi sumber, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan supporter sepak bola terfanatik di dunia. Lainnya, yakni Inggris. Para supporter disana, tak henti-hentinya menyanyikan lagu kebangsaan tim mereka sepanjang 90 menit untuk mendukung tim mereka. Bahkan di tingkat negara, Hooligan Inggris juga dikenal sebagai supporter paling fanatik. rata-rata kepadatan stadion bisa mencapai 99%. Dan basis supporter fanatik di Inggris adalah Liverpool dan Manchester United.

Selain itu,Argentina. Loyalitas supporter Argentina dalam mendukung tim idola mereka memang tak perlu diragukan lagi. Para supporter sudah menganggap kemenangan tim sebagai harga mati. Di Argentina juga banyak terjadi perkelahian antar supporter yang menyebabkan korban jiwa. Tingkat rata-rata kepadatan stadion bise mencapai 97%. Basis suporter fanatiknya adalah River Plate dan Boca Junior.

Demikian juga Brazil. Negara yang dikenal sebagai pemasok pemain sepakbola terbesar di dunia. Supporter Brazil dikenal sangat loyal pada tim. Rata-rata kepadatan stadion bahkan bisa mencapai 93%. Basis supporter fanatiknya adalah Sao Paolo FC.

Begitu juga Italia. Fanatisme supporter di negara tersebut sangat tinggi. Supporter italia dikenal sebagai supporter yang keras, bahkan hampir tiap klub mempunyai supporter garis keras (ultras) yang total dalam mendukung tim. Rata-rata kepadatan stadionpun mencapai 93%. basis supporter fanatiknya adalah Roma, Juventus, serta Milan dan Inter Milan. Hal yang sama juga juga di Mexico, Belanda, Jerman hingga Spanyol.

Fanatisme suporter sejatinya positifnya. Dengan perasaan cinta yang luar biasa dari suporter, semangat bertanding sebuah tim dapat melonjak drastis. Berkat itu pula, penampilan para pemain makin brilian.

Hadirnya suporter fanatik membuat brand suatu tim makin tersohor, dan makin dilirik sponsor ‘menjual’ produknya yang merupakan pangsa pasar utama. Fanatisme suporter duga acap dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. Tentu saja melalui penjualan tiket, merchandise, hingga beragam aksesoris lainnya.

Meski begitu, juga ada sisi negatifnya, jika suporter dari kedua tim punya rivalitas tinggi. Dampaknya, potensi kericuhan berpotensi terjadi. Masih ada banyak lagi sisi negatif dari fanatisme suporter yang merugikan banyak pihak, termasuk para suporter itu sendiri. Hal inilah yang wajib dibenahi agar segalanya menjadi lebih baik dan suporter sepakbola tak dipandang negative.

Mendukung tim kesayangan dengan cara yang benar adalah hal yang tak bisa ditawar. Jangan mudah tergoda atau terpancing eksistensi yang pada ujungnya menimbulkan dampak buruk untuk semua orang. Datang ke stadion dengan tertib, menerima apapun hasil laga dengan rasional, dan menyampaikan kritik secara elegan adalah cara-cara positif. (*)

(Penulis : Aktivis Komunitas Kritis Indonesia, Gunawan Suryana)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *