Intelmediaupdate – Politik identitas belakangan jadi pembahasan dan narasi banyak politisi. Disebut-sebut, politik identitas akan kembali berulang memasuki tahun politik 2023 mendatang, dan terus berlanjut memasuki Pemilu 2024.
Sebagaimana diketahui, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Mengutip Wikipedia, identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Menanggapi isu yang menghangat soal politik identitas, Akademisi Dr Agus Surachman, SH SP1 menyampaikan, hal itu suatu hal lumrah dalam dinamika demokrasi.
“Politik identitas atau politik stigmatisasi, itu persoalannya. Yang terjadi sekarang, jika mengusung symbol symbol agama, atau ras, disebut politik identitas. Tapi, politik-politik yang mengatasnamakan idenitas (saat ini) sudah ada,” kata Agus Surachman, saat bincang-bincang politik di Tajur, Rabu (23/11/2022).
Pria yang juga dosen pasca sarjana salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor ini memberi contoh sejumlah partai peserta pemilu.
“Saat ini kan ada partai bersimbol agama (peserta pemilu, tapi bukan berarti politik identitas). Nah, sekarang ada juga stigmatisasi. Misalnya, dilekatkan seorang politikus,” tuturnya.
“Misalnya, Anis. Padahal dia kan seorang akademisi, lebih modern dalam berpikir. Nah, seperti Anis ini distigmatisasi seolah radikal, atau Jokowi juga pernah distigmatisasi. Nah, itu persoalannya, politik identitas bisa marak, sama dengan politik stigmatisasi, sama juga fitnah,” imbuh Agus.
Tapi, sambungnya, sekarang tak lebih berbahaya, politik stigamtisasi yatitu orang digiring seolah radikal atau dituduh komunis.
“Itu yang menguat fitnah. Nah itu kan seolah digiring, distigmatisasi, walaupun orangnya tidak seperti itu.
Dia juga mengutip yang pernah dikatakan Politisi Amerika Serikat yang juga Ketua DPR, Nancy Pelosi.
“nancy Pelosi pernah mengatakan, demokrasi Amerika itu agung tetapi rapuh. Banyak dari kita di sini telah menyaksikan secara langsung kerapuhan kita, secara tragis di ruangan ini. Jadi demokrasi harus selamanya dipertahankan dari kekuatan yang menginginkannya disakiti,” ucapnya.
Agus memberi contoh, di Amerika pernah terjadi era Donald Trump. Ketika itu, para pengunjuk rasa yang mendukung Presidern Amerika Serikat Donald Trump menyerbu Gedung Capitol, memaksa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat berlindung dan menghentikan rapat pengesahan oleh Kongres. Rapat di Kongres ini ditujukan untuk mengesahkan presiden terpilih Joe Biden sebagai pemenang pemilihan presiden November lalu.
“Masyarakat kita sebenarnya sudah pintar, sudah bisa melihat dan tidak bisa dibohongi lagi (terkait politik identitas). Sama dengan orang distigmatisasi, seakan (dilabelkan) organisasi terlarang, nah itu tidak kalah menakutkan. Artinya, hukum itu harus ditegakan. Tidak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tuntasnya. (Nesto)