Intelmediaupdate –KUHP versi baru disahkan pada Selasa, 6 Desember 2022. KUHP yang lama sudah tidak lagi relevan dan tidak mengikuti dinamika zaman, karena dibuat pada era kolonial. KUHP baru membawa perubahan paradigma hukum modern dan menghapuskan hukuman ala kolonial.
Praktisi hukum yang juga dosen salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Kota Bogor, Jhon Piter Simanjutak saat diwawancarai di kantor pengacaranya, Jalan Ahmad Yani, Tanahsareal, menyampaikan, pengesahan KUHP merupakan momentum bersejarah bidang hukum.
“Karena, KUHP itu merupakan produk anak bangsa. KUHP adalah kitab besar yang berisi pasal-pasal yang mengatur hukum pidana di Indonesia. KUHP baru yang sudah sah, menggantikan posisi KUHP lama,” kata Jhon Piter di kantornya, Kamis (29/12/2022).
Tak sedikit masyarakat yang belum tahu, ternyata KUHP lama yang sudah dipegang selama puluhan tahun, merupakan terjemahan dari hukum Belanda saat menjajah Indonesia. Usianya sudah lebih dari 100 tahun.
Jhon Piter berujar, perjalanan RKUHP menjadi KUHP tidak singkat. Namun, pembahasan RKUHP tersebut telah berjalan selama 64 tahun. Artinya, KUHP itu telah berlaku sepanjang satu abad lebih. KUHP memiliki nama asli yakni, Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 1918.
Pada tahun 1945, ketika Indonesia merdeka pada 1945, WvSNI ini diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. WvSNI kemudian diganti namanya menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Upaya memperbaharui KUHP telah dicanangkan sejak 1958, saat berdirinya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional).
“Sekitar tahun 1963, Seminar Hukum Nasional I digelar untuk membuat KUHP Nasional yang baru. Pada 1970, pemerintah baru memulai merancang RKUHP untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini. Namun, sempat terhenti,” tuturnya.
Pada 2020, lanjutnya, DPR secara resmi melanjutkan pembahasan RKUHP. Pembahasan pun berlanjut dan akhirnya secara resmi mengesahkan RKUHP menjadi KUHP, pada 6 Desember 2022. Rumusan RKUHP sebenarnya telah rampung pada 1993. Namun upaya ini terhenti saat Menteri Kehakiman digantikan oleh Oetojo Oesman (1993-1998). Selanjutnya, saat Oetojo Oesman turun dari posisi Menteri Kehakiman, RKUHP kembali dilanjutkan.
Pada tahun 2004, tim baru untuk merancang RKUHP kembali dibentuk dengan diketuai oleh Prof. Dr. Muladi, SH. Seterusnya, pada tahun 2012, RKUHP yang baru diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada DPR untuk dibahas. Namun, saat itu menuai gelombang protes. Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi tahun 2019, memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP dan meninjau kembali pasal-pasal yang bermasalah.
“Sebelumnya, saat pembahasan RKHUP, ada yang saya soroti soal percobaan bunuh diri (pada pasal 345 KUHP), apakah kejahatan atau tidak. Hal itu pernah saya sampaikan kepada DPR, dan akhirnya ketentuan tersebut sudah disahkan di KHUP terbaru. Termasuk masalah santet yang tercantum dalam KUHP terbaru turut yang mengatur ancaman sanksi 1,5 tahun penjara bagi pelakunya. Aturan itu tercantum dalam Pasal 252 KUHP,” tuturnya.
Ada tiga hal yang disoroti Jhon Piter di KUHP terbaru. Yakni, terkait kebebasan berpendapat, antara fitnah dan juga kritik, kebebasan terkait seks yang diatur dan pelaksanaan hukuman mati.
Ia juga menjelaskan, pada bagian Keempat tentang Perzinaan dalam Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan KUHP ini memuat 3 pasal. Yaitu, pasal 411, 412, dan 413. Pasal 411 berisi mengenai setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan. Mereka akan terkena hukuman penjarapaling lama satu tahun atau pidana paling banyak kategori II.
Terkait Pasal 412 menetapkan, ayat (1) setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luarperkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Namun, tindakan tersebut dilakukan atas pengaduan suami atau istri orang yang terikat perkawinan dan bagi yang belum menikah oleh orang tua atau anaknya.
Menyoal kekhawatiran bagi pelaku industri pariwisata, terkait pasal perzinaan yang diatur dalam Bab XV disebut-sebut berpotensi memperburuk iklim investasi di Indonesia. Sebab, terkait pasal ini, Australia sudah mengeluarkan peringatan perjalanan (travel warning) bagi warganya yang akan ke Indonesia.
“Disini kita lihat mengenai esek-esek, ada pendapat, itu bukan bagian dari budaya kita. Budaya Indonesia itu yang beradab dan agamais. Artinya, kita kembalikan pada terminologi ini. Berbeda dengan budaya luar negeri. Jika kebebasan terlalu jauh, ini sangat bertentangan dengan nilai budaya kita. Jadi, produk KUHP terbaru ini sudah cukup baik dan sudah banyak disempurnakan,” tuntas Jhon Piter Simanjutak.
Ingin tahu lebih jelas, simak tayangan video di chanel Youtube Purwadaksi. (Eko Octa)