Akademisi Agus Surachman Sayangkan Terbitnya Perpu Cipataker, ini Pendapatnya

Aartreya.com- Akademisi Agus Surachman menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja sebagai ketidakpatuhan  terhadap Mahkamah Konstitusi RI. Menurutnya, Perpu yang terbuit pada 30 Desember 2022,  diduga ‘akal akalan’”, tidak mau memperbaiki tetapi tetap ‘mempertahankannya’.

“Sebab, dalam Putusan MK memerintahkan untuk dilakukan perbaikan undang-undang dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung setelah putusan. Jika tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen,” kata pria yang juga Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hukum di salah satu PTS saat diwawancarai di kantornya, Jalan Raya Tajur, Kota Bogor, Selasa (03/01/2023).

Menurut Agus, MK diketahui memerintahkan pemerintah tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Jadi, dengan hadirnya Perpu tersebut sama artinya pembangkahan konsitusi. Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU 11/2020 Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021) silam menyebutkan, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi,” tuturnya secara detil.

Tak hanya itu, masih menurut Agus, Hakim MK juga menilai, UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.

“MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja,” tukasnya.

Dalam konstruksi hukum Indonesia, lanjutnya, dasar hukum pembentukan Perppu adalah Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945. Dalam Pasal 22 Ayat 2 dan 3, disebutkan bahwa Perppu yang dikeluarkan presiden harus mendapat persetujuan DPR.

Adapun syarat pembentukan Perppu adalah kegentingan yang memaksa yang ditetapkan secara subjektif oleh presiden. MK menetapkan standar objektif ini dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Berdasarkan putusan MK tersebut, ada tiga syarat yang menjadi parameter dalam menetapkan suatu keadaan yang genting. Pertama adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.

Syarat ketiga untuk unsur kegentingan memaksa dalam keputusan MK adalah kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam artian harus memenuhi ihwal kegentingan memaksa. Sedangkan, untuk alasan terdampak dari perang Rusia-Ukraina yang mengemuka sebagai dalih terbitnya Perppu Ciptaker tidak termasuk dalam ihwal kegentingan memaksa yang dikonstruksikan oleh UUD,” jelas Agus.

Dia melanjutkan, produk hukum Omnibus Law disebut sebagai pengaruh globalisasi yang belakangan nyaris menjadi isme di banyak negara.

“Omnibus Law diduga karena dampak globalisasi. Globalisasi memunculkan proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak lagi mengenal batas wilayah. Globalisasi memberikan dampak yang besar bagi tatanan kehidupan manusia, baik dampak positif maupun negatif. Akan tetapi, janganlah sampai produk hukum yang ada tidak memperhatikan aspek kepentingan hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum bagi masyarakat,” ucapnya.

Globalisasi saat ini, sambungnya, bukan hanya suatu sistem ekonomi saja, tetapi sudah jadi ideolgi yang wajib dilaksanakan diseluruh dunia. Cirinya, dia mengatakan, 7 prinsip, namun tiga yang disebutannya, mengutip dari Jacques Gelinas.

“Pertama, supremacy and infallibity of the market (keunggulan dan ketahanan pasar). Kedua, kepentingan swasta melebihi jepentingan negara dan masyarakat. Terakhir, fleksibilitas tenaga kerja.

Konsep Omnibus Law, sambung Agus, merupakan sebuah aturan untuk memangkas beberapa aturan yang dianggap tumpang tindih sekaligus untuk menyinkronkan beberapa aspek menjadi produk hukum besar.

“Umumnya, konsep ini digunakan oleh beberapa negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon Common Law, seperti di Amerika, Kanada, Irlandia, Inggris. Indonesia sebagai negara penganut sistem Civil Law, sistem Omnibus Law ini sangat jarang dipakai. Namun, harapan negara untuk menjawab perkembangan globalisasi, khususnya ekonomi, maka mengadopsi sistem Omnibus Law,” imbuhnya.

Penerbitan perpu di akhir tahun 2022, masih menurutnya, terkesan kuat seolah merupakan kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan.

“Jadi, idealnya, Presiden Jokowi melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK dan meninjau kembali Perpu No. 2 Tahun 2022 karena hal itu seolah pembangkangan konstitusi,” tuntasnya. (Eko Octa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *