Duh!, Pemasukan Pengunjung Museum Perjuangan Bogor Minim Tagihan PDAM Mendadak Melonjak

INTELMEDIA – Tunggakan penggunaan PDAM Tirta Pakuan yang mendadak melonjak membuat Pengelola Museum Perjuangan Ben merasa kaget. Jika sebelummya, rata-rata harus mengeluarkan kocek kisaran Rp300 ribu untuk pembayaran penggunaan air ledeng, pada Maret belum lama ini, tagihan melonjak menjadi Rp2.742.300. Sebelumnya, pada Februari 232.800 dan April Rp621.300.

“Total tagihan menjadi Rp4.167.500. Baru tadi pagi, saya bayar untuk bulan Februari senilai Rp232.800. Sementara, Maret dan April belum, karena memang kami tak memiliki uang,” kata Pengelola Museum Perjuangan Ben, Rabu (17/5/2023).

Pria berusia 70 tahun ini juga menyampaikan curhatnya terkait pengelolaan museum yang menurutnya tak ada bantuan dari pemerintah daerah.

“Setiap bulannya, biaya yang harus dikeluarkan museum, mulai dari bayar tagihan air, listrik, hingga kebersihan, rata-rata mencapai Rp3.5 juta. Sementara, masukan dari pengunjung tak sebanding, kisaran Rp1.5 juta. Itu pun untuk membayar pekerja, tidak ada,” tuturnya.

Bahkan, imbuhnya, untuk keperluan kopi dan gula pun kesehariannya didapat dari dermawan pengunjung museum.

“Karena itu, untuk perbaikan genteng bocor, terkadang kami tak ada uang. Nah, apalagi ini, tagihan air mendadak melonjak. Sementara, kebutuhan penggunaan air, hanya untuk kamar mandi. Itu pun digunakan untuk pengunjung. Jadi, jika ada kebocoran pipa atau kelebihan penggunaan air di museum, kami pastikan tidak ada,” ucapnya.

Saat ditanya, apakah sejauh ini pemerintah daerah yang dinahkodai Bima Arya memberi perhatian uluran bantuan untuk pemeliharaan museum? Ben menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum.

“Yah, sudahlah, cape kalau bicarakan Pemkot Bogor, Kang. Saya hanya berharap, pihak PDAM Tirta Pakuan bisa memberi kebijakan dan keringanan, karena museum ini sejatinya adalah aset publik yang didalamnya banyak benda bersejarah,” tukas Ben.

“Dan, saya diyakinkan rekan saya, kawan aktivis 98, Eko Octa, bahwasanya Dirut PDAM Tirta Pakuan, Rino, orang yang berhati baik. Semoga ia bisa meringankan beban Museum Perjuangan Bogor, terutama soal lonjakan tunggakan taguhan PDAM,” tuturnya yang saat itu didampingi Eko Octa dan Ahmad Rifai.

Sebagai informasi, Museum Perjuangan Bogor belakangan ini diketahui sepi pengunjung. Pekerjanya pun terpaksa menjadi relawan, karena tak bergaji.

Pada lantai satu museum menyimpan berbagai benda bersejarah seperti senapan mesin, uang, dan peta pertempuran. Sementara, lantai dua, terdapat diorama yang menghiasi sudut ruangan, mengisahkan perlawanan rakyat Bogor terhadap upaya pendirian kembali negara jajahan.

Mesin tik dan beberapa surat kabar zaman kemerdekaan turut menjadi koleksi. Begitu pula beberapa senjata seperti, samurai (katana), golok, kujang, dan keris. Koleksi lain di lantai dua museum adalah baju-baju para pejuang kemerdekaan dengan lumuran darah. Yang menyampaikan pesan tak tersirat, merebut kemerdekaan itu tidak mudah dan sekaligus berdarah-darah.

Bangunan tua Museum Perjuangan Bogor ini telah berdiri sejak zaman Belanda. Dikutip dari Mulyasari dalam penelitiannya berjudul Sejarah Perkembangan Museum Perjuangan Bogor (2010: 45) bangunan ini telah ada sekitar tahun 1879 dengan pemilik bernama Wilhelm Gustaff Wissner.

Gedung ini pernah dijadikan gedung perkumpulan Partai Indonesia Raya (Parindra) untuk wilayah Bogor pada tahun 1938. Kemudian, ketika Jepang berhasil menduduki wilayah Hindia Belanda, gedung ini turut diambil alih dan dijadikan gudang penyimpanan bagi tentara Jepang.

Dihimpun dari sejumlah sumber, kekalahan Jepang oleh sekutu dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia membuat gedung kembali beralih fungsi. Kali ini dijadikan kantor Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk daerah Bogor. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Datangnya tentara Inggris dengan membonceng tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang bermaksud mendirikan kembali negara kolonial telah melahirkan situasi genting. Akibatnya, terbit sebuah maklumat bahwa Bogor kota dan kabupaten sedang dalam keadaan perang (Anggraeni, 2010: 32). Secara otomatis kantor KNI ditinggalkan dan dibiarkan kosong.

Gedung tersebut baru kembali diisi setelah Belanda mangkat dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun ini pula, gedung dipergunakan sebagai Kantor Pemerintahan Sementara Bogor sebelum kemudian pada tahun 1952 sampai 1958 dijadikan Sekolah Rakyat. Secara sah gedung menjadi Museum Perjuangan Bogor pada tanggal  20 Mei 1958. (Nesto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *