Bung Karno, Pancasila dan Kedekatannya dengan Kaum Muslim

INTELMEDIA – Jelang peringatan puncak acara Bulan Bung Karno di GBK, Senayan, Jakarta, Anggota DPRD Kota Bogor Ujang Sugandi mengatakan, merujuk kisah sejarah dan juga dalam beberapa tulisan “Dibawah Bendera Revolusi”, Proklamator RI Soekarno sangat dekat dengan Islam. Hal itu terlihat dari beberapa tulisannya.

“Dari beberapa sumber sejarah yang diketahui, Bung Karno merupakan keluarga Muslim-Jawa dan ia terlibat aktif dalam gerakan Sarekat Islam. Soekarno tak menunjukan ketertarikannya pada Islam dan pemikiran keislaman. Tapi, juga dekat dengan para Tokoh Muslim saat itu, seperti Tjokroaminoto sebagai Ketua Central Sarekat Islam, juga Kiai Ahmad Dahlan, dengan mengikuti pengajiannya di Surabaya,” kata Politisi PDI Perjuangan yang menggemari mebaca buku sejarah, saat bincang-bincang di gedung DPRD Kota Bogor, Jumat (23/6/2023).

Selain memiliki komunikasi dekat dengan Nahdliyin, Soekarno juga dekat dengan para tokoh Muhamadiyah melalui Kiai Mas Mansur.  Beberapa buku tentang Islam dan pemikiran Islam yang jadi bacaannya karya para pemikir dunia Muslim eperti Sayyid Amir Ali, Farid Wajdi, Jamaluddin al-Afghani, hingga Mohammad Abduh.

“Sebagai seorang Muslim, pemikiran Bung Karno pun tak lepas dari ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Hal itu terbukti saat berpidato tentang Pancasila di gedung Chuo Sangi In sebagaimana disampaikan Sukarno dalam buku Tjamkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara.

Bung Karno menekankan pesan kebangsaan bahwa perjuangan lewat musyawarah harus menjadi dasar negara Indonesia yang masyarakatnya majemuk.

“Allah subhanahuwata’ala memberi pikiran kepada kita agar dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, supaya ke luar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara, prinsip nomor tiga, yaitu permusyawaratan!,” kata Ujang Sugandi mengutip pernyataan Bung Karno.

Pada saat sidang BPUPKI itu, ada perwakilan pemerintah Jepang yang meninjau. Chuo Sangi In sendiri merupakan lembaga yang dibentuk Sukarno, Hatta, dan kawan-kawan untuk mendapat kepercayaan Jepang. Sehingga lembaga itu menjadi semacam penasihat pemerintah militer Jepang. Melalui pidatonya, Bung Karno menyampaikan dirinya adalah seorang pemeluk Islam dan menolak penjajahan.

“Sesungguhnya pidatoku bahkan menyatakan bahwa aku antimonarki, karena Aku seorang Islam, aku seorang demokrat karena aku orang Islam, aku menghendaki mufakat, maka aku minta supaya tiap-tiap kepala negara, baik khalifah-khalifah maupun amirul mukminin harus dipilih oleh rakyat,” lanjut Ujang melansir yang dikatakan Bung Karno kepada Cindy Adams yang kemudian ditulis dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Meski seorang Muslim, namun Bung Karno dalam mebangun negara keragaman lebih mengedepankan semangat kebhinekaan.  Bung Karno, tak ingin membuat Indonesia hanya menjadi negara untuk satu agama saja waktu itu. Bahkan, dia yang memilih para anggota BPUPKI, diantaranya ada 4 keturunan Tionghoa dan seorang keturunan Belanda.

” Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan; lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa–namanya ialah Pancasila,” tutur Sukarno dalam sidang BPUPKI.

“Bung Karno bukan hanya proklamator, tapi ia juga inspirasi para pejuang. Bukan hanya Indonesia. Tapi, juga Timur Tengah. Seorang Gamal Abdul Naser yang disebut sebagai pemimpin dunia Arab saat itu, menganggap guru pada Bung Karno. Artinya, Bung Karno sangat berpengaruh bagi kemerdekaan negara-negara di Timur Tengah,” tuntasnya. (Eko Octa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *