Bima Arya Protes Minta Batalkan Sistem Zonasi, Aktivis 98 : Walikota kok Rasa Presiden?

BARU-BARU INI, melansir dari Detik.com, Walikota Bogor Bima Arya menyatakan proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) melalui jalur zonasi tidak tepat diterapkan, khususnya di Kota Bogor. Bima menyebutkan penerapan sistem zonasi harus dibatalkan pada Kamis (6/7/2023).

Bima mengatakan hal itu seusai sidak ke beberapa alamat calon siswa SMP Negeri 1 Kota Bogor. Beberapa alamat calon siswa yang terdaftar tidak ditemukan dan diduga hasil manipulasi.

Menurutnya, PPDB melalui jalur zonasi belum bisa diterapkan selama sistem dan infrastruktur sekolah belum merata. Bima menyampaikan, kalaupun sistem zonasi ini akan diterapkan, sistem harus rapi lagi. Sistem kependudukannya, sistem verifikasinya, kemudian infrastruktur sekolah. Selama infrastruktur sekolah belum merata, ya, nggak mungkin zonasi ini diterapkan. Demikian disampaikan Bima.

Apa yang disampaikan Bima Arya jelas sangat absurd. Kenapa? Di Kota Bogor, diketahui ada 20 SMP Negeri. Jika yang disampaikan Bima Arya ada dugaan pelanggar system zonasi, artinya temuannya hanya 5 persen dan semestinya tidak membuat pernyataan Kota Bogor menolak system zonasi.

Selanjutnya, aturan PPDB tertuang dalam Permendikbud nomor 51 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud nomor 20 tahun 2019. Peraturan itu tentunya merupakan kebijakan negara. Artinya, soal tata kelola pendidikan di republik ini setiap daerah tunduk pada aturan pemerintah.

Bukan sebaliknya, walikota atau kepala daerah yang ingin membuat aturan sendiri. Hingga saat ini, sama-sama diketahui nama kepala negara kita adalah Joko widodo. Bukan Bima Arya. Jadi sangat tak elok jika walikota serasa seperti seorang presiden menyampaikan menolak zonasi. Dan, kenapa baru sekarang Bima Arya menyampaikan menolak zonasi, sementara kebijakan mendikbud tersebut sudah berlaku sejak 2019, atau 4 tahun lalu.

Kita kembali tela’ah penyebutan menolak system zonasi yang disampaikan Bima Arya, sejauh ini, di negara bernama Republik Indonesia ini, belum ada satu pun kepala daerah atau daerah yang menolak zonasi. Kenapa harus ada zonasi? Tujuannya diproduksinya kebijakan tersebut agar siswa miskin bisa memilik hak yang sama sekolah negeri atau sekolah unggulan.

Jika Bima Arya ingin lakukan perbaikan, semestinya bukan menolak system zonasi. Tapi, perbanyak membuat sekolah SMP negeri di tiap kelurahan. Jadi, bukan menyalahkan kebijakan pemerintah. Soal anggaran membangun infrastuktur sekolah, siapa bilang tak ada? Pemkot Bogor pernah mendapatkan dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), seharusnya anggaran itu dimanfaatkan untuk membangun sekolah negeri. Bukan hal lain. Karena, jelas manfaatnya dirasakan masyarakat banyak.

Jika Bima Arya menyoal pelanggaran zonasi karena dugaan manipulasi keterangan kependudukan, yang perlu dievaluasi seharusnya anak buahnya Bima, seperti Disdukcapil dan yang terkait. Atau, pidanakan terduga pelakunya. Bukan system zonasi yang jadi kebijakan pemerintah yang disalahkan.

Terkait PPDB sudah terang benderang yang dirasakan masyarakat, sebagaimana diketahui ada tiga skema penerimaan siswa di satu sekolah negeri, yakni: melalui jalur zonasi (jarak rumah ke sekolah), jalur prestasi bagi anak yang punya prestasi akademis dan nonakademis dan anak yang baru pindah dari luar domisili dan pindahan. Nah, bagian mana kebijakan zonasi tersebut dianggap merugikan masyarakat? Mengingat aturan zonasi sebagaimana tertuang dalam Permendikbud nomor 51 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud nomor 20 tahun 2019 ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sejak diterapkannya tahun 2019. Atau, jika Bima menyampaikan menolak kebijakan zonasi, mewakili siapa? Penuli yang juga sebagai warga Kota Bogor, jelas tak merasa minta diwakili atau sependapat dengan Bima Arya, terkait penolakan zonasi.

Sebagai informasi, sebelum Pemerintah Indonesia memberlakukan sistem zonasi, di negara lain sudah terlebih dulu memberlakukannya. Dari informasi yang dihimpun dari beberapa sumber, diantaranya yakni Australia, Jepang dan Inggris.

Ketentuan zonasi di negara tersebut tak beda dengan saat ini, sistem zonasi dengan memperhatikan tempat tinggal murid dan orang tua ketika mendaftar di sekolah. Dan, system ini, secara umum dianggap berhasil memeratakan mutu pendidikan sekolah. Dan, sejauh ini, di negara yang lebih dulu menerapkan aturan zonasi, belum terdengar walikotanya menolak aturan pemerintahnya. (Penulis :  Aktivis 98, Eko Octa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *