PUTUS SEKOLAH masih menjadi fenomena yang belum terselesaikan di dunia pendidikan. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), pada tahun ajaran 2020/2021 ada sekitar 83,7 ribu anak putus sekolah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meliputi anak putus sekolah di tingkatan SD, SMP, SMA, dan SMK baik negeri maupun swasta.
Dari data tersebut, Provinsi Jawa Barat menempati posisi teratas jumlah anak putus sekolah yakni 10.884 orang, disusul DKI Jakarta 10.073 orang, Sumatra Utara: 9.266 orang, Jawa Timur 6.573 orang, Sulawesi Selatan 6.107 orang, Jawa Tengah 5.904 orang, Nusa Tenggara Timur 2.855 orang, Sumatera Selatan 2.562 orang, Banten 2.288 orang dan Papua2.235 orang.
Sebagai pembanding, jumlah total anak putus sekolah paling sedikit pada tahun ajaran yang sama, 2020/2021 yakni Bali: 285 orang, Kepulauan Bangka Belitung: 343 orang, Kalimantan Utara: 408 orang, Sulawesi Barat: 424 orang, Kepulauan Riau: 581 orang, DI Yogyakarta: 611 orang, Bengkulu: 665 orang, Gorontalo: 667 orang, Maluku Utara: 703 orang dan Papua Barat: 719 orang.
Selanjutnya, pada tahun ajaran 2022/2023, Kemendikbud Ristek mendata bahwa ada total 40.623 anak yang putus sekolah se-Indonesia. Dan, Jawa Barat masih menempati tempat tertinggi.
Merujuk Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, terungkap 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebagian besar yaitu 67,0 persen di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya yaitu 8,7 persen anak harus mencari nafkah.
Masih tingginya anngka putus sekolah, merupakan penyokong terbesar terhadap peningkatan angka kemiskinan. Dan, bukan tak mungkin berpotensi terwariskan bila pendidikan bagi keluarga tak lagi jadi prioritas. Apalagi, melibatkan anaknya mencukupi nafkah tanpa bersekolah. Maka dari itu, masyarakat dan orang tua pun perlu diedukasi untuk melindungi masa depan anak-anak dengan pentingnya pembekalan ilmu pendidikan.
Dikutip dari GoodStats, Pemerintah sudah mengalokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja negara. Alokasi anggaran pendidikan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tahun 2023 ini anggaran pendidikan mencapai Rp612,2 triliun.
Terdiri dari Rp237,1 triliun melalui belanja pemerintah pusat, Rp305,6 triliun melalui transfer ke daerah, dan Rp69,5 triliun melalui pembiayaan. Anggaran tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya Rp574,9 triliun.
Angka pertumbuhan anggaran pendidikan pada tahun 2022 mengalami peningkatan yang tinggi mencapai 19.9 persen dibandingkan tahun 2021 yang hanya meningkat 1,3 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun ini, pertumbuhan anggaran pendidikannya mencapai 5,8 persen dari anggaran tahun sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, UU Sistem Pendidikan Nasional, secara jelas telah mengatur hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, sebagaimana diatur kolektif dalam Bab IV UU tersebut. Meski demikian, cerita anak putus sekolah masih selalu ada.
Bertolak dari ini, perlunya pemerintah daerah, melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial di daerah selaku pelaksana sekaligus pemangku kebijakan melakukan validitas dan aktualisasi data siswa dari keluarga tidak mampu. Tujuannya, menekan angka putus sekolah.
Langkah awal dimulai dari melakukan verifikasi dan pembaharuan data keluarga tidak mampu agar penyaluran Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) menyasar kepada anak usia sekolah (usia 6 – 21 tahun), yang berasal dari keluarga miskin, pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam/musibah, dapat dilaksanakan programnya dengan tepat sasaran.
Selain itu, pemerintah daerah di kota atau kabupaten juga perlu menambah sekolah negeri, setidaknya ditarget setiap tahunnya. Hadirnya sekolah negeri, tentu akan sangat meringankan bagi siswa tak mampu dan menjadi solusi pencegahan putus sekolah.
Hadirnya komunitas pendidikan yang berfokus membantu anak-anak putus sekolah juga perlu agar dapat kembali mengakses pendidikan dan melanjutkan pendidikan yang putus di tengah jalan. Siswa dibantu agar dapat bersekolah kembali maupun diikutkan dalam program kejar paket.
Selain itu, juga memberikan bantuan biaya pendidikan bagi siswa yang kurang mampu tentunya akan sangat membantu mereka dalam menjalani kegiatannya disekolah. Dengan demikian siswa tak perlu lagi bingung dan khawatir jika harus membeli buku, seragam, dan keperluan lainnya untuk menunjang proses pendidikannya disekolah.
Upaya pencegahan putus sekolah juga harus melibatkan peran pemerintah, pendidik, masyarakat, dan kelompok yang berkepentingan untuk membantu keluarga yang kurang beruntung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka. Melalui edukasi tentang pentingnya pendidikan dan peran dalam pendidikan anak, dapat meningkatkan kesadaran orangtua. Masyarakat juga harus berpatisipasi saling menguatkan jika ada keluarga yang memiliki anak berpotensi putus sekolah.
(Anggota DPRD Kota Bogor, Hj R Laniasari S.Ap)