Mari Katakan Mulai Saat ini, Stop Bullying!

KASUS BULLYING belum lama ini mengusik dunia pendidikan. Terbaru, di antaranya adalah penganiayaan siswa SMP di Cilacap dan Bekasi, siswi kelas 2 SD di Gresik dicolok matanya hingga buta, hingga bullying yang terjadi di Denpasar.

Perundungan di Indonesia boleh dibilang mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dilaporkan UNICEF pada tahun 2020, bullying di kalangan remaja mencapai angka 41 persen, belum termasuk cyber bullying sebesar 45 persen di waktu yang sama.

Menukil dari Liputan6.com, dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tercatat terjadi 226 kasus perundungan pada 2022 yang menjadi teror untuk anak-anak di sekolah.

Beberapa jenis perundungan yang terjadi oleh korban di antaranya bullying fisik (55,5%), bullying verbal (29,3%), dan bullying psikologis (15,2%). Sedangkan, tingkat jenjang pendidikannya siswa SD menjadi korban bullying terbanyak sekitar (26%), siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%).

Perundungan yang kerap terjadi menunjukan adanya kekerasan dari pelaku terhadap korban. Banyak masyarakat yang turut menyayangkan aksi tersebut dan mengecam keras tindakan perundungan yang tengah marak terjadi. Demikian juga kalangan orang tua, tak sedikit yang merasa was-was ketakutan jika anaknya menjadi korban perundungan di sekolahnya.

Melansir dari situs Unicef, bullying dilatarbelakangi tiga karakteristik yakni disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Seorang pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik menyakiti fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali.

Anak laki-laki lebih mungkin mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami bullying secara psikologis, walaupun jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.

Bullying adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.

Korbannya, paling rentan yakni anak-anak dari masyarakat yang terpinggirkan, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, anak-anak penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.

Dampak negatif yang dapat timbul sebagai akibat dari bullying sangat banyak dan penting bagi setiap komunitas, terutama lingkungan sekolah, tempat bermain, dan keluarga, untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan. Upaya yang ditempuh, perlu campur tangan guru, staf sekolah, orang tua, dan sebagainya melalui edukasi mengenai berbagai aspek negatif yang terlibat dan dampak yang akan terjadi juga sebaiknya dilakukan.

Agar anak-anak dapat mengembangkan potensinya dengan baik, perlu ditekankan edukasi seputar pentingnya mencegah aktivitas bullying, terutama di sekolah dan rumah. Dengan peran aktif orang tua serta seluruh perangkat sekolah, tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal.

Guna menghindari atau menghadapi praktik bullying, jika menjadi korban di lingkungan sekolah, segera temui guru atau teman dan ceritakan apa yang terjadi. Dan, jangan takut untuk melaporkan tindakan bullying kepada pihak-pihak berwajib, seperti ke polisi.

Dan, jika di suatu ingkungan terindikasi tanda-tanda terjadi bullying, tunjukkan sifat berani dan percaya diri sehingga pelaku akan berpikir ulang untuk melakukannya di kemudian hari. Pihak sekolah pun wajib mengambil peran pencegahan dengan cara menerapkan program disiplin positif dan pencegahan bullying.

Sebagaimana disampaikan di situs Unicef, guru harus merespon atau menanggapi bullying dengan serius dan menujukan empati. Serta, membantu anak yang di-bully untuk membela dirinya sendiri. Selain itu, juga menanyakan kepada anak tentang apa yang dapat dilakukan untuk membuat dia merasa aman.

Guru harus berbicara dengan setiap anak yang terlibat dalam situasi ini secara terpisah. Hindari menyalahkan, mengkritik, atau meneriaki di depan wajah mereka. Dorong dan hargai nilai kejujuran.

Ambil tindakan kepada pelaku bullying. Beritahu anak, orang tuanya, dan kelas mengenai perkembangan kasusnya, dengan tetapi menghormati semua pihak. Pemerintah daerah juga perlu campur tangan membentuk gugus tindak pencegahan kekerasan.

Pada tiap sekolah, harus ada tim pencegahan kekerasan. Sekolah-sekolah juga harus melaporkan setiap kejadian kekerasan kepada orang tua dan Dinas Pendidikan. Sedangkan untuk kekerasan berat, maka sekolah harus melaporkan langsung kepada aparat penegak hukum.

Karena, selama ini tidak pernah ada sanksi yang diberikan kepada sekolah, sehingga jika terjadi kekerasan, sekolah tidak memiliki pedoman mengenai apa yang harus dilakukan, selain menyelesaikan secara kekeluargaan atau membawa ke ranah hukum.

(Penulis : Anggota DPRD Kota Bogor, Hj Laniasari S.AP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *