INTELMEDIA – DPRD Kota Bogor gagas raperda inisiatif tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Kemarin, Rabu (23/5/2024), sosialisasi payung daerah tersebut dibahas bersama perwakilan penggiat pendidikan, KPAID Kota Bogor hingga Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor, di ruang rapat DPRD Kota Bogor.
Hadir Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Bogor, Anna Mariam Fadhilah, dan anggotanya yakni Endah Purwanti, Maesaroh, Azis Muslim, Heri Cahyono, dan Eny Indarti.
Saat membuka bahasan raperda inisiatif Pencegahan Penanganan Kekerasan Satuan Pendidikan (PPKSP), Ketua Bapemperda Anna Mariam meyampaikan, raperda yang menjadi inisiasi dewan ini diklaim akan menjadi payung hukum yang pertama kali di Indonesia jika nanti jadi menjadi perda.
“Raperda dilatarbelakangi karena maraknya kekerasan pada lingkungan pendidikan. Nantinya, peran Satuan Tugas (Satgas) Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Hal itu bertujuan guna menindaklanjuti kekerasan dan perundungan sekaligus menekan angka kasus perundungan atau bullying hingga kenakalan pelajar,” kata Anna.
Saat perwakilan masyarakat diminta masukan dalam pembahasan raperda tersebut, Ketua KPAID Kota Bogor, Dede Siti Amanah menyampaikan sangat mengapresiasi.
“Kami mengapresiasi raperda inisiasi dewan ini (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan). Karena, kasus kekerasan pelajar dan perundungan, masih terjadi di Kota Bogor. Dan, raperda ini merupakan tindaklanjut dari Permendikbudristek 46/2023. Pihak sekolah harus sepenuhnya mendukung langkah pencegahan dan penyelesaian tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan,” ucapnya.
Pada kesempatan itu, pemerhati pendidikan yang ikut hadir, Eko Okta Ariyanto mengkritisi, Raperda PPKSP yang hanya mengatur pencegahan kekerasan hanya di Tingkat PAUD, TK, SD dan SMP. Ia pun membandingkan Permendikbudristek 46/2023 sebagai induk payung hukum yang mengatur mekanisme pencegahan penanganan kekerasan berlaku menyeluruh, termasuk SMA dan SMK.
“Di Kota Bogor saat ini, kasus tawuran pelajar, hingga kasus pelecehan seksual pelajar diketahui terbanyak terjadi di Tingkat SMA dan SMK, bahkan hingga terjadi korban. Jika Raperda PPKSP ini hanya menyasar di Tingkat SMP, SD hingga PAUD, agak aneh. Karena, jarang terjadi kasus kekerasan seperti tawuran di tingkatan tersebut,” kritik Eko.
Ia menyebut, yang menjadi sandungan Paperda PPKSP yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 12, pendidikan termasuk ke dalam urusan pemerintahan wajib, yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
“Berdasarkan Undang-Undang tersebut, urusan pendidikan anak usia dini dan nonformal serta pendidikan dasar (SD dan SMP) menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedagkan, urusan pendidikan menengah (SMA dan SMK) kewenangan pemerintah provinsi. Semestinya, aturan ini di-MK- kan dulu, agar raperda yang nantinya menjadi perda bisa berlaku juga lakukan pencegahan di Tingkat SMA atau SMK yang diketahyi kerap terjadi tawuran,” tukasnya.
Aktivis 98 ini juga mengkritik kepolisian yang nantinya menjadi mitra pencegahan kekerasan pelaksana perda, namun hingga saat ini disebutnya masih menyulitkan partispasi public untuk membuat pengaduan.
“Sebagaimana diketahui, nomor telpon pengaduan polisi 110. Atau, di Polresta Bogor Kota hingga polsek, masih menggunakan nomor telepon konvensional. Seharusnya pihak kepolisian mempublikasikan nomor whastapp yang dipasang di spanduk agar memudahkan warga menghubungi, sebagai partisipasi public lakukan pencegahan kekerasan. Karena, penggunaan nomor telpon konvensional, sudah jarang digunakan dan menyulitkan orang karena harus isi pulsa dulu. Sedangkan kemudahan komunikasi itu adanya pada penggunaan whatsapp,” tuntasnya. (Nesto)