INTELMEDIA – Dinamika jelang Pilkada 2024 dipenuhi hiruk pikuk politik. Beragam skenario jadi perbincangan, salah satunya skenario koalisi mempersempit ruang gerak lawan politik dan upaya lawan kotak kosong. Adalah Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus yang disebut-sebut sebagai upaya untuk menjegal eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, hingga munculnya calon boneka.
Akademisi Dr Agus Surachman menyampaikan, aroma menjegal kembali Anies Baswedan unuk maju di Pilkada DKI Jakarta kembali menyeruak.
“Hal itu ditandai dengan PKS yang memberi waku 40 hari untuk Anies mendapat dukungan partai lain yang tidak dapat dipenuhi Anies Baswedan. Selanjutnya, KIM sudah calonkan yaitu Ridwan Kamil untuk Gubernur Jakarta. Dan, terbaru bakal calon wakil gubernur ditawarkan kepada PKS,” kata Agus Surachman di studionya pada Sabtu (17/6/2024).
Penuturan akademisi yang juga pemerhati politik ini, Jokowi telah berubah dari seorang pemimpin pilihan rakyat yang semula terlihat demokratis belakangan berubah mengedepankan politik keluarga seolah ingin membangun Kerajaan.
“Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam bukunya How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati), menyebutkan 3 hal strategi pemimpin yang otoriter, pertama, menangkap wasit. Kedua, menyingkirkan pemain-pemain kunci dan mengubah aturan. Dengan memberiikan contoh yaitu Donald Trump, Presiden Amarika Serikat, diawal-awal periode kepemimpinannya,”tukasnya.
Dalam konteks ini, sambung Agus, Jokowi sudah mempraktekannya.
“Pertama telah membiarkan wasit , yaitu ketua KPU divonis oleh DKPP dipecat dari jabatannya sebagai ketua KPU karena melakukan perbuatan tercela. Selanjutnya, telah menyingkirkan Anies Baswedan dengan diduga Pemilu dilakukan dengan curang,” ucapnya.
“Bahkan, sebelum pemilu pun Anies sudah dicoba disingkirkan dengan politisasi hukum tapi tidak berhasil. Seterusnya, yang dilakukan Jokowi yakni telah merubah aturan hukum yaitu mengubah UU Pemilu tentang batas usia, yang dilakukan oleh Paman Usman untuk memberikan karpet merah ke, pada Gibran,” lanjut Agus.
Selain itu, ada koalisi parpol yang disinyalir ada campur tangan penguasa dan para oligarkhi dengan mengimingi-imingi posisi menteri di cabinet mendatang kepada parpol tersebut.
“Jatah masing-masing 3 menteri itu untuk membatalkan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon Gubernur Jakarta. Saya pernah diwawancara oleh seorang wartawan untuk persoalan ini, ketika diwacanakan Anies akan didukung untuk menjadi bakal calon gubernut yang akan didukun oleh PKB , PKS, Nasdem dan kemungkinan PDI Perjuangan. Saat itu, saya sampaikan akan dijegal,” ujar Agus.
Dan, ternyata predisi politik Agus terbukti. Ketidak sukaan penguasa, sebutnya, karena Anies telah menghentikan reklamasi dan beberapa pengusaha telah dirugikan oleh kebijakan Anies tersebut.
“Saya sarankan pada waktu itu, Anies sebaiknya ambil jalan Independen artinya mencoba menyalonkan diri tidak melalui partai atau Anies menahan ambisi dulu untuk tidak menjadi pejabat publik karena dalam rezim corporatocrasi yang menghalalkan cara. Betul kata Anies, parpol tidak boleh mengikuti keinginan perorangan (penguasa dan pengusaha). Tetapi, harus mengikuti keinginan rakyat, khususnya rakyat Jakarta. Pernyataan itu benar-sebenar-benarnya. Tapi, di negara ini belum bisa dilaksanakan. Karena demokrasi dan hukum kita telah rusak,” tuntasnya. (Eko)