INTELMEDIA – Masa bakti Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam waktu dekat bakal usai pada Oktober mendatang setelah dua periode menjabat sebagai Kepala Negara. Pengamat politik Dr Agus Surachman menyoroti sejumlah kebijakan yang tak populis. Diantaranya, menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025, dari yang sebelumnya 11 persen.
Hingga, ormas keagamaan boleh kelola tambang yang ketentuannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 ditandatangani Presiden Jokowi pada Kamis (30/5/2024) lalu.
“Selain itu, kebijakan Jokowi yang tak berpihak pada rakyat yakni Jokowi memberi izin investor untuk memiliki tanah di IKN sampai 190 tahun. Izin ia berikan dalam bentuk hak guna usaha (HGU), tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara,” kata Agus Surachman saat diwawancara media online ini pada Jumat (20/9/2024)
Produk kebijakan Jokowi yang disebutnya tak berpihak pada rakyat ini perlu dievaluasi presiden terpilih mendatang, jika Prabowo sudah menjabat kepala negara.
“Kebijakan Jokowi ini banyak yang tak pro rakyat jadi perlu ditinjau lagi oleh presiden terpilih kedepan, Prabowo. Karena, itu yang menjadi masalah. Pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara) jika berpotensi menguras anggaran juga perlu dievaluasi saat Presiden Terpilih RI 2024-2029 Prabowo Subianto nanti. Terkait UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, juga perlu direvisi nantinya,” tukas Agus.
Pendapat pengamat politik ini, IKN sejauh ini sudah menyedot dana besar dengan menyerap dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 72,3 triliun sepanjang tiga tahun belakangan. Agus juga menyampaikan, mengutip catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menggelontorkan anggaran IKN tahun 2022 sebesar Rp 5,5 triliun, lalu di 2023 sebesar Rp 27 triliun dan tahun 2024 sebesar Rp 39,8 triliun.
“Misalnya, terkait UU IKN, kan bisa direvisi, misalnya prosesnya 50 tahun (red. untuk menghemat anggaran negara). Enggak apa-apa undang-undang dirubah, kan bisa di-judicial review. Ini sudah revolusi. Revousi yang dimaksud, perubahan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan,” tuturnya.
Agus berujar, perlu dilakukan perubahan untuk menjadikan lebih baik dan perlu dilakukan evaluasi total.
“Revolusi itu melakukan perbaikan, misalnya di institusi Mahkamah Konstitusi (MK) atau insitusi lainnya. Jadi, ibaratnya kapal, dan ada beberapa sekoci disekitarnya. Jika kapal akan karam, sekoci-sekoci harus menjauh, karena bila tidak akan ikut tenggelam,” ucapnya.
Mengakhiri wawancara, Agus juga menyoroti utang pemerintah bertambah hampir Rp 6.000 triliun atau melonjak 224% selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi. Data Kementerian Keuangan, imbuhnya, menunjukkan nominal utang pemerintah pusat per Juni 2024 menembus Rp 8.444,87 triliun atau setara dengan 39,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut melonjak dibandingkan akhir September 2014 atau sebelum Jokowi menjabat.
“Pemerintahan mendatang harus menyelamatkan, jika tidak akan terjadi failed state (red. negara yang dianggap gagal memenuhi persyaratan dan tanggung jawab dasar suatu pemerintahan berdaulat),” tuntasnya. (Nesto)