Saat ini, tiap daerah menatap pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 November 2024 untuk mencari kepala daerah baik di tingkat satu maupun tingkat dua, untuk mencari gubernur, wali kota dan bupati.
Sebagai seorang warga negara yang juga akan memilih kepala daerah siapapun tentu berharap pemilihan kepala daerah ini berlangsung secara jujur dan adil. Masyarakat pun perlu diberi keleluasaan untuk memilih pemimpin untuk memilih.
Rekam jejak memang salah satu parameter yang bisa kita lihat tentang apa yang telah dikerjakan oleh calon tersebut sebelumnya. Karena, public bisa melihat apa yang telah dikerjakan berkaitan dengan kebijakan atau pentikapan yang berpihak pada masyarakat.
Hal mudah yang bisa dilihat misalnya, dimulai dari tingkat pengangguran, ketersediaan lapangan kerja, sistem pendidikan, Kesehatan hingga kesejahteraan rakyat apakah sudah berpihak kepada gakin atau belumnya. Termasuk, tempat pelayanan kesehatan umum, sarana pendidikan dan juga kemudahan dalam pengurusan surat menyurat bagi warga.
Publik sebagai penyumbang suara di pilkada juga harus diingatkan jangan terjebak pada politik uang, karena pilihan dari pemilih akan berdampak untuk pembangunan daerah 5 tahun yang akan datang. Pemilih juga harus percaya bahwa tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang dipilih saat memilih di kotak suara nantinya.
Gaya kepemimpinan, muda atau tua, laki-laki atau perempuan juga penting, untuk mengetahui apakah calon kepala daerah tersebut mau mendengarkan suara dari berbagai kalangan sebanyak mungkin. Pemimpin khususnya kepala daerah harus siap dikritik dan siap menerima keluhan dari masyarakatnya. Rasa kepemilikan atau sense of belonging terhadap daerah nya juga perlu. Pemimpin yang mau menjadi pelayan dan bukan untuk dilayani, ini yang dibutuhkan masyarakat.
Mencari pemimpin dari gender pria atau perempuan di pilkada, juga perlu dicermati di pilkada. Menurut American Psychological Association, gaya kepemimpinan wanita cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang lebih kooperatif dan partisipatif. Sementara pria cenderung lebih banyak memberi perintah dan mengontrol. Mereka lebih berorientasi pada tugas dan pengarahan, sementara wanita lebih demokratis.
Tak hanya itu, kepemimpinan pria cenderung memberikan arahan, sementara wanita mendorong untuk menemukan arah mereka sendiri. Gaya kooperatif melibatkan lebih banyak percakapan dan mendengarkan, memang membutuhkan lebih banyak waktu tetapi membuat public merasa lebih dihargai.
Singkatnya, menurut beberapa riset ilmiah disimpulkan, kepemimpinan pria cenderung lebih jarang menerima saran dari tim dalam hal keputusan kepemimpinan. Mereka mungkin lebih tegas, mereka mungkin terlihat kurang peduli, dan memberikan perintah yang lebih langsung. Namun, gaya kepemimpinan perempuan umumnya memiliki gaya manajemen yang lebih kolaboratif, mendorong partisipasi dan mendengarkan gagasan.
Perjalanan proses menuju pilkada ini, merupakan kesempatan masyarakat untuk memilih pemimpin yang akan memimpin daerah kedepan. Pilkada diharapkan mampu membawa perubahan dan kemajuan. Dan, pilkada benar-benar menjadi momentum perubahan yang berpihak para masyarakat bukan sekedar rutinitas yang berulang.
Pilkada memiliki potensi besar sebagai momentum perubahan. Dengan adanya pilkada, masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap mampu membawa visi baru, kebijakan inovatif, dan solusi konkret terhadap berbagai permasalahan yang ada di daerah.
Kepala Daerah yang nantinya terpilih diharapkan dapat mengatasi isu-isu krusial, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian lokal. Dalam konteks ini, Pilkada menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan daerah.
Pemilih kritis dan cerdas dalam menilai calon pemimpin merupakan hal penting mentap pilkada, bukan hanya berdasarkan popularitas atau janji-janji manis, tetapi juga rekam jejak dan program kerja yang ditawarkan.
Perlu juga ditingkatkan pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dan bijak dalam proses demokrasi ini. Di sisi lain, penyelenggara Pilkada dan lembaga pengawas harus bekerja ekstra untuk memastikan proses pemilihan berjalan dengan jujur, adil dan penuh tanggung jawab. Upaya pemberantasan politik uang dan praktik korupsi harus diperkuat, begitu pula dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.
Adalah perlu, memperkuat peran pemilih dalam pilkada agar nantinya menjadi salah satu kunci utama untuk mewujudkan momentum perubahan. Melalui edukasi, pemilih dapat lebih memahami proses pilkada, mengenali calon yang berkualitas, serta meminimalisir pengaruh negatif dari politik uang dan manipulasi informasi. Intinya, pemilih harus lebih ‘Ready’ menatap pilkada untuk mencari pemimpin yang berpihak pada peningkatan keksejahteraan masyarakat.
(Penulis : Anggota DPRD Kota Bogor, H Syarif Sastra, SE)