Susu Sapi Pedaging yang Terabaikan untuk Cegah Stunting
IntelMedia – Fenomena stunting kini menjadi perhatian serius pemerintah Prabowo dengan diadakannya program makan siang gratis bagi siswa sekolah yang sudah mulai disosialisasikan di beberapa Sekolah Dasar di Tanah Air.
Dosen Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB University), Dr. Ir. H. Afton Atabany, M.Si secara brilyan berinovasi melontarkan potensi yang masih terpendam yaitu susu sapi pedaging yang selama ini terabaikan karena adanya stigma di masyarakat bahwa susu sapi dihasilkan dari sapi perah, hingga mengabaikan susu dari sapi pedaging.
“Selama ini pemerintah dan masyarakat masih berkutat pada susu sapi perah. Mereka melupakan bahwa susu sapi dapat juga diambil dari sapi pedaging,” ungkapnya dalam wawancara di kediamannya di salah satu Cluster Komplek Perumahan Bukit Cimanggu City Kota Bogor, Sabtu (7/12).
Menurutnya, anak sapi pedaging hanya minum susu induknya sebanyak 2 liter per hari, sedangkan induknya mampu memproduksi susu 4 hingga 6 liter tergantung kondisi dan kualitas dan jenis makanan yang dikonsumsinya, “Alhasil terdapat 2 hingga 4 liter per hari dapat diperah dan dijual. Bahkan sapi rumpun limousin jumlah susu yang tidak dikonsumsi oleh anaknya dapat menghasilkan 15 hingga 20 liter per hari. Ini kan sangat disayangkan selama ini diabaikan begitu saja,” tukasnya.
“Yang pasti pada kondisi standar, produksi susu dari induk sapi pedaging selama 4 bulan masa menyusui, masih dapat diambil untuk dikonsumsi masyarakat, dan ini lebih efektif untuk mencegah stunting karena lebih banyak mengandung kalsium daripada telur ayam,” terangnya.
Kita tahu, lanjut Afton, produksi susu dalam negri masih sangat minim kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama yang diproduksi oleh para Petani Peternak, “Dengan terobosan produksi susu dari sapi pedaging, saya yakin kesehatan masyarakat akan lebih terjamin,” imbuhnya.
Di Indonesia terdapat sekitar 13 juta ekor sapi pedaging dan sekitar 6 juta betina induk dapat dimanfaatkan susunya untuk dikonsumsi dan dijual kepada masyarakat, sedangkan sisanya adalah sapi pejantan dan betina yang masih anak-anak, belum menghasilkan susu.
“Masalahnya akan terjadi pada awal mula mengambil air susu dari puting induk sapi pedaging. Karena tidak terbiasa diperah, maka induk sapi akan risih dan mungkin akan berontak. Namun dengan memainkan peran tangan pemerah layaknya anak sapi sedang menyusu, dan setelah terbiasa dipastikan induk sapi akan diam layaknya sapi perah yang diam saat diambil air susunya,” terangnya.
Masalah lain, masih menurut Afton, pemerintah harus membantu membuka pasar susu tersebut dengan menampung dan membelinya untuk konsumsi masyarakat pengganti telur ayam yang selama ini seolah menjadi komoditi unggulan dalam memerangi stunting.
Dengan terobosan yang disosialisasikan kepada masyarakat dan diberitahukan bagaimana mengatasi permasalahannya, maka saya yakin stunting tidak akan ada lagi di Indonesia, setidaknya akan berkurang banyak.
Dia menambahkan, kualitas susu sapi pedaging memiliki kadar lemak dan kalsium yang lebih tinggi dan bahan keringnyapun (setelah dikeringkan-Red) lebih bagus daripada susu sapi perah.
“Yang tak kalah penting adalah kesejahteraan petani dalam hal ini peternak sapi pedaging akan lebih meningkat karena mendapatkan penghasilan tambahan dari air susu ternaknya yang selama dia abaikan,” katanya, yakin.
Ditanya mengenai kualitas susu dalam negeri, Afton menjawab tidak kalah dengan susu import, “Kualitasnya sebetulnya sama saja dan tidak kalah dengan susu import, hanya saja petani pada susu sapi perah kita saat ini melakukan proses pemerahannya masih manual dengan menggunakan tangan, bahkan agar memerahnya licin biasanya tangan mereka dibalur mentega, sehingga kadar lemak dalam susunya menjadi tinggi. Solusinya, mereka mereka diberi alat perah, sehingga tidak lagi manual dan saya jamin kualitasnya tidak akan kalah dengan susu import,” tegasnya mantap.
Tentu saja, lanjut Afton, pemanfaatan susu dari sapi pedaging ini juga berlaku bagi kambing, kerbau, kuda dan sejenisnya yang jumlahnya tidak kalah banyak dan dapat menunjang kesejahteraan masyarakat sekaligus menekan angka stunting yang masih menjadi momok di Dalam Negri.
“Hal ini juga pernah saya sampaikan pada saat pemberian materi di acara Bimbingan Teknis (Bimtek) terhadap 600 orang Calon Manager Unit untuk Penyediaan Makanan Bergizi dan Susu program Universitas Pertahanan (Unhan) yang bekerja sama dengan IPB University pada September silam,” terang Afton.
Diluar daerah, masih menurut Afton, masalah ini juga pernah disampaikan seperti di Kabupaten Sigi dan Parigi Mautong Sulawesi Tengah pada awal November lalu dalam acara Pembelajaran Partisipatif Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang diadakan oleh Pemda setempat.
Dikatakannya, Sigi merupakan Kabupaten yang pertama kali merespon atas gagasan pemerahan susu dari sapi pedaging ini, hingga pada 27 November, Sigi mengutus Asda berkunjung ke IPB Bogor dan saat itu saya arahkan ke Desa Tajur Halang Kecamatan Cijeruk dimana terdapat percontohan sapi perah untuk perbandingan.
Selain di Sigi, lanjutnya, juga pernah disampaikan di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur pada akhir November lalu dalam acara Pembelajaran Partisipatif Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang diadakan oleh Pemda setempat.
“Pernah juga saya sampaikan juga dalam acara Capasitas Building terhadap 25 orang Solidaritas Alumni Sekolah Peternakan Rakyat Indonesia (SASPRI) dari Maluku Utara yang diadakan di SPR Sapi Perah Cijeruk dengan disponsori oleh Bank Indonesia Cabang Maluku bekerjasama dengan SPR IPB University yaitu pada akhir November lalu,” imbuhnya.
“Bahkan secara on air pernah saya sampaikan di RRI Pro 3 FM pada tanggal 12 November 2024 tepatnya pukul 16.25 Wib, dalam acara atau program Indonesia Menyapa Siang, membahas materi bertajuk Menilik Permasalahan Impor Susu di Indonesia. Saat itu saya ditelp oleh produser program bernama El Hammi Rahim Syifa Ch meminta saya mengisi acara yang dibawakan oleh mbak Luna selaku Reporter,” pungkasnya. (DidiS)