Akademisi Agus Surachman Menilai Praktik Politik Dinasti Telah Nodai Reformasi

INTELMEDIA – Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik sebenarnya lebih identik dengan kerajaan bukan negara demokrasi sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Dan, yang dilakukan Presiden Jokowi dutengarai tengah melakukan politik dinasti.

Akademisi Dr Agus Surachman menyampaikan, dugaan politik dinasti yang dilakukan Jokowi bermula dari kebijakan MK yang menuai kecaman keras dari publik karena keputusan yang menyesuaikan dengan kondisi sang keponakan.

“Dibuatlah Majelis Kehormatan (MK) MK. MK MK ini pun memberikan penilaian bahwa terjadi pelanggaran etika berat dari keputusan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Namun tetap saja, ini tidak berpengaruh karena sifatnya hanya etis, yang tidak mengikat secara hukum,” kata Agus Surachman kepada pewarta saat bincang santai di salah satu rumah makan di Jalan Binamarga, Kota Bogor, pada Kamis (14/3/2024).

Akademisi yang juga dosen pasca sarjana salah satu PTS di Bogor ini melihat terdapat kecenderungan pelebaran dinasti politik di keluarga Joko Widodo. Ia melihat dari rekam jejak yang ada, seperti Putra Sulung Gibran, menantu Bobby Nasution, hingga adik ipar Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, dapat menjadi bukti yang konkret.

Terkini, istri Kaesang Pangarep, Erina Gudono masuk radar Pilkada Sleman 2024. Erina diisukan maju melalui kendaraan Partai Gerindra. Sementara, Kaesang Pangarep masuk dalam bursa calon Wali Kota Solo 2024.

“Apa yang dilakukan Jokowi menodai demokrasi dan reformasi. Jokowi sendiri bukan seorang reformis. Saat lahirnya reformasi, Jokowi tak ikut terlibat. Dia masih bekerja sebagai penguasaha meuble,” imbuh Agus.

Dia melanjutkan, dinasti politik merupakan ”upaya mengamankan diri” setelah seorang petahana tidak menjabat lagi dan pada kondisi tertentu bisa menjadi ”contoh buruk”. Sebagai kepala negara, lanjut Agus, Jokowi telah menggunakan kekuasaan untuk menekan pembantu pemerintahan harus tunduk pada kepentingan politiknya. Hal ini bukan saja melanggar fatsun, etika, moral dan konstitusi, tapi juga mengkhianati reformasi 1998.

“Yang dilakukan Jokowi telah menciderai reformasi dan demokrasi,” tukas Agus.

Mengakhiri wawancara Agus menyimpulkan, melalui politik dinasti Jokowi menunjukan ketidaktaatan atas etika hukum.

“Dan, kaidah-kaidah demokrasi. Jokowi juga terlihat tidak punya malu dan menunjukan dugaan gejala sakit jiwa atau mentalitilty illnes. Ini juga yang perlu diselidiki oleh panitia khusus hak angket DPR,” tutupnya. (Eko Okta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *